Setiap gereja di
Indonesia merupakan “produk” dari gereja luar negeri, seperti Eropa, Amerika, Korea, Australia, dan sebagainya. Oleh sebab itu, sistem
kepemimpinan gereja selalu disesuaikan dengan aliran dan denominasi gerejanya.
Perbedaan dalam sistem kepemimpinan ini membuat gereja sulit menerima gereja
yang berbeda aliran atau denominasi dengan dirinya. Indikasi ini menunjukkan
gereja akan mengalami perpecahan. Perpecahan gereja yang terjadi di Indonesia sebagai miniatur atas perpecahan
gereja-gereja besar di luar negeri. Para pemimpin gereja selalu mengklaim sistem kepemimpinannya
yang alkitabiah. Pada tataran ini kekuasaan menjadi alat yang ampuh untuk
mempengaruhi anggota jemaat. Pemimpin gereja yang dimaksud antara lain Pendeta,
Majelis Jemaat, dan Majelis Sinode.
A.
Kepemimpinan Pendeta
Salah satu pemimpin
tertinggi dalam lembaga agama yang paling dikenal adalah pendeta. Istilah pendeta merupakan sebutan bagi
pemimpin agama Hindu, Budhha, Konghucu, Katolik, dan agama Kristen tentunya. Kata pendeta berasal dari kata pandita
(bahasa Sansekerta), berarti
orang yang telah mencapai kesempurnaan di bidang kerohanian dan dianggap
“mumpuni” untuk
mengurus anggotanya (Wiyanto, 2010:24). Secara khusus di Indonesia istilah pendeta digunakan untuk
sebutan pemimpin agama Kristen yang bertugas untuk memimpin umat agar cara hidupnya sesuai dengan kehendak Allah.
Istilah pendeta juga berpadanan dengan pastor yang berasal dari bahasa Latin pastōr
berarti gembala. Gembala dalam kitab Perjanjian Lama (PL) yaitu
bahasa Ibrani menggunakan
kata רעה (ra'ah). Dalam kitab Perjanjian
Baru (PB) yaitu bahasa Yunani menggunakan kata ποιμην (poimēn). Penggunaan istilah gembala dalam Alkitab menunjukkan tindakan memberi makan kepada domba-domba (Kejadian 9:7), sedangkan peranannya kepada
manusia sebagai pribadi yang menggembalakan agar jemaat memperoleh pengetahuan
dan pengertian tentang Allah (Yeremia 3:15). Setiap nabi, rasul, gembala,
pendeta, atau penginjil dipanggil oleh Tuhan untuk memimpin umat-Nya (Efesus
4:11). Contoh sikap hidup seorang gembala sejati ditujukan oleh Yesus Kristus
(Yohanes 10:11).
Kebanyakan gereja Protestan di luar negeri menggunakan istilah pastor. Penggunaan istilah pastor merujuk pada jabatan
pemimpin gereja pada masa Yohanes
Calvin dan Ulrich
Zwingli. Pendeta, pastor, gembala, dan penginjil memiliki
pengertian yang sama yaitu pemimpin umat Kristen yang bertugas untuk menyampaikan
pesan Tuhan kepada umat-Nya karena secara kualitas bisa menjadi teladan, memiliki kepandaian, dan
sikap bijaksana. Menjadi seorang pendeta merupakan sebuah
tanggung jawab yang besar serta tugas mulia yang dipercayakan Allah kepadanya.
Kepemimpinan gereja berbeda dengan
cara memimpin perusahaan. Dalam pandangan Octavianus (1991:1) melihat kepemimpinan suatu lembaga Kristen tidak dapat dilepaskan
dari cara penanganan tugas yang dipercayakan oleh Tuhan kepada kita. Allah yang memanggil setiap pendeta dalam memimpin gereja-Nya. Seorang pemimpin harus memiliki
karakter ilahi dalam menjalankan setiap tugas
kepemimpinannya.
Dewasa ini tidak sedikit pendeta
menyalahi arti dari panggilannya sebagai pemimpin gereja. Kekuasaan seorang
pendeta sangat dominan dalam membuat perubahan dogma serta terlibat langsung pada
pertambahan setiap aliran dan denominasi gereja di Indonesia. Seharusnya pendeta menjadi teladan yang mewujudkan doa Agung Tuhan yang mengharapakan
gereja-Nya untuk tetap bersatu. Bukan sebaliknya, pendeta menjadi pemberontak
dan perusak gereja. Dengan melihat kondisi ini maka dipastikan para pendeta sebagian besar menyimpang dari tugas
panggilan Allah yang sesungguhnya. Mereka mementingkan diri
sendiri, kelompoknya, maupun aliran dan denominasi gerejanya
masing-masing.
Para pendeta sering memposisikan dirinya lebih baik dari
pemimpin gereja yang lain, bahkan memposisikan ajaran maupun gerejanya yang paling benar dibandingkan dengan aliran dan denominasi gereja lain. Segala bentuk kekuasaan menjadi bahan yang dipertontonkan. Mereka
berusaha dengan segala cara agar gereja yang dipimpinnya tetap eksis dalam
lingkungan agama Kristen, sekalipun gereja lain mengalami penurunan kualitas
dan kuantitas. Mereka menggunakan hukum “rimba” yaitu siapa yang kuat itulah
yang tetap ada dan meneruskan paham dari aliran gereja tersebut.
Jabatan seorang pendeta dalam gereja seringkali menjadi
kekuatan untuk menghancurkan segala rintangan yang mengahalanginya. Apabila ketegangan ini terjadi di dalam satu aliran dan
denominasi gereja, maka jalan yang sering ditempuh adalah pemimpin yang tidak
kuat akan keluar dari gereja tersebut kemudian membentuk
aliran dan denominasi gereja baru.
Memang jarang diperlihatkan peperangan fisik tetapi peperangan intelektual menjadi
langkah yang ditempuh untuk mempertahankan gereja yang dipimpinnya.
Peperangan intelektual semacam ini bukanlah hal yang baru
dalam pertempuran ideologis bagi seorang pemimpin gereja. Dalam pemikiran
Gramsci membedakan dua aspek peperangan intelektual pada sebuah kepemimpinan,
yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional adalah orang yang
mengisi posisi ilmiah, sastra, filosofis, dan keagamaan dalam masyarakat,
termasuk gereja di mana status, posisi, dan
fungsi mereka mengarahkan untuk melihat
diri mereka sendiri secara independen dari segala persekutuan kelas atau peran
ideologis. Sedangkan intelektual organik adalah bagian konstitutif dari
perjuangan kelas pekerja. Mereka memikirkan dan mengorganisasi unsur-unsur
kelas kontra hegemoni dan sekutunya. Ketika kelas baru berkembang, akan
tercipta satu atau lebih strata intelektual yang memberikannya hegemonitas dan
kesadaran tentang fungsinya sendiri (Barker, 2006:370).
Kedua aspek di atas telah berkembang dalam setiap
aliran dan denominasi gereja selama ini. Keberadaan pendeta dalam suatu gereja bertugas untuk memimpin umat dalam menegakkan disiplin gereja. Ketika disiplin ini ditegakkan maka sesungguhnya ada kekuasaan yang
melekat pada pribadi pemimpin tersebut. Hal ini diakui oleh Calvin (Hall, 2009:457-462) bahwa di dalam gereja ada kekuasaan yang berasal dari Allah
melalui kasih Yesus Kristus bagi jemaat-Nya untuk memimpin dan berkuasa atas
umat dalam menegakkan disiplin gereja, doktrin, dan mempertahankan kemurniaan
pemberitaan Firman Tuhan. Kekuasaan dapat berfungsi secara
positif apabila sesuai dengan tujuan Allah, sebaliknya kekuasaan untuk kepentingan diri serta
menguasai orang lain pasti berdampak negatif.
Walaupun demikian positifnya sebuah kekuasaan, tetapi
kepribadian dan motivasi pendeta jaman sekarang ini sudah tidak alkitabiah lagi. Sistem kepemimpinan mereka lebih bermuara pada kekuasaan sekuler dan kepentingan diri sendiri. Setelah kedudukan tampuh kepemimpinan itu tercapai, tak segan-segan
mereka menyalahgunakannya demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Seorang pemimpin tidak memperhatikan apa yang menjadi tujuan
utama dari tugas seorang pendeta yaitu mensejahterakan umat, mendisplinkan
umat, dan menegakkan ajaran Firman Tuhan secara benar dalam gereja.
Kerapuhan tampuh kepemimpinan seorang pendeta telah mengalami kemerosotan moralitas. Sesungguhnya seorang pendeta harus mampu menjalankan
fungsinya sebagai pembawa kedamaian di antara komunitasnya dan masyarakat secara keseluruhan. Jabatan
pendeta melekat erat dengan seluruh kepribadiannya. Artinya, seorang pendeta
harus dapat menjunjung citra yang baik di mana pun ia berada. Kepribadian pendeta bagaikan ikan
di aquarium yang dapat diamati dan dinilai dalam berbagai sudut pandang manusia.
Umumnya pendeta diselimuti oleh berbagai kemunafikan.
Pada satu sisi terlihat sebagai rohaniwan, tetapi di sisi lain menjadi ‘kanibal’.
Secara kasat mata pendeta dalam pertemuan tertentu dapat
memperlihatkan keakraban dan keharmonisan dengan pendeta lain. Kelihatannya seperti orang suci dan tidak berdosa sama sekali. Dosa mereka tertutup
oleh jubah kebesarannya. Pada kesempatan kebersamaan inilah justru mereka merancang berbagai strategi
untuk mengadakan perlawanan atau menjatuhkan pemimpin gereja yang lain.
Segala trik yang dirancang oleh pendeta
dilalarbelakangi oleh perbedaan
doktrin, aliran, denominasi, atau ada akar
kepahitan karena
pernah anggota jemaatnya “dicuri” oleh pendeta yang bersangkutan. Pada saat yang sama dalam hatinya ingin menguasai anggota jemaat dari salah satu pendeta tersebut. Ada usaha untuk mengambil anggota gereja lain secara sengaja sehingga jumlah anggota jemaatnya bertambah. Ungkapan yang paling populer yaitu “memancing di aquarium” gereja lain.
Apabila ditelusuri kebanyakan anggota jemaat berasal
dari gereja yang ada di sekitarnya. Sebagian besar para pendeta beranggapan bahwa ukuran gereja yang bertumbuh dengan memiliki
jumlah anggota jemaat yang banyak. Mereka membanggakan model gedung
gereja serta fasilitas yang ada dalamnya. Metode penginjilan seperti ini sangat
menyakitkan hati Tuhan Yesus. Inilah fenomena yang sedang terjadi dalam
kekristenan di Indonesia saat ini.
Pertumbuhan
jumlah anggota jemaat dan pembangunan gedung gereja bukan
berarti tidak penting. Rujukan yang benar apabila pertumbuhan itu merupakan
hasil penginjilan kepada orang yang belum percaya kepada Yesus Kristus serta bertujuan untuk memuliakan
Allah. Lebih
penting lagi, dalam sebuah gereja kasih semakin nyata dan semakin bertumbuh di dalam Tuhan. Para pemimpin
gereja tidak harus berlomba-lomba mendirikan aliran dan denominasi gereja baru sebagai legitimasi
dalam perwujudan tugas Amanat Agung Tuhan Yesus.
Dengan melihat konteks pertumbuhan gereja dewasa ini Lie (2010:35-36) selalu mengingatkan dan menasihatkan seluruh pendeta yang memimpin suatu gereja dengan mengatakan bahwa banyak gereja salah sasaran
pertumbuhan, berusaha memiliki gedung yang baru dan lebih besar, direnovasi,
berusaha memiliki jumlah warga lebih banyak, puas, dan bangga dengan semua
hasil fisik tersebut. Semua itu
sungguh sebuah hasil yang menggembirakan, tetapi bukan yang utama! Tujuan gereja yang paling mendasar pertumbuhan iman jemaat yang makin makin erat pada Tuhan, makin erat dengan sesama, dan kasih
yang semakin mesra kepada semua orang.
Pada kenyataannya, para pendeta biasanya ingin menguasai aliran dan denominasi gereja lain. Sikap pemimpin gereja yang demikian tidak perlu ditiru,
karena gereja lama-kelamaan menjadi batu sandungan bagi orang lain yang sudah percaya maupun yang belum
percaya kepada Yesus Kristus. Dapat ditegaskan bahwa perpindahan anggota ke dalam
salah satu aliran dan denominasi gereja yang
lain sesungguhnya bukanlah sebuah pertumbuhan gereja. Fenomena ini
membuktikan gereja telah gagal mewujudkan tugas Amanat Agung yang sebenarnya.
Kondisi agama Kristen di Indonesia dan termasuk gereja di seluruh dunia telah mengalami
perpecahan karena faktor “mencuri” dari anggota gereja lain. Oleh sebab itu, setiap pendeta perlu merenungkan kembali perkataan Warren (1999:56) yang menegaskan: “Perpindahan anggota gereja dari satu gereja
ke gereja lain bukanlah tujuan dari Tuhan Yesus ketika Dia memberi Amanat Agung
ini. Tuhan memanggil kita untuk menjadi penjala manusia, bukan memindahkan ikan
dari akuarium yang satu ke akuarium yang lain. Sebuah gereja yang bertambah
besar karena perpindahan anggota dari gereja lain, sebenarnya gereja itu tidak mengalami pertumbuhan seperti yang diharapkan oleh Tuhan.
Perpecahan
gereja yang ditimbulkan oleh sikap pendeta
yang arogan dan merasa berkuasa bukanlah suatu rahasia lagi dalam sejarah kemerosotan moral
kepemimpinan Kristen akhir-akhir ini. Pendeta yang satu mengambil anggota gereja lain dan kemudian
membaptiskannya kembali untuk dijadikan sebagai anggota yang sah dalam gereja
yang dipimpinnya. Sudah pasti gereja yang menerima perlakuan semacam ini akan
melakukan perlawanan balik baik secara terbuka maupun
tertutup. Perlawanan terbuka bisa langsung merebut kembali anggota jemaat tersebut, sedangkan perlawanan tertutup yaitu pendeta berusaha
melakukan hal yang sama atas gereja itu atau pun gereja lain di sekitarnya.
Strategi lainnya dengan membeli alat musik lengkap agar ada daya tarik
orang masuk ke gerejanya, mengadakan bakti sosial, mengadakan perkunjungan pada anggota gereja lain, berusaha
menyanyikan lagu kontemporer, plagiat liturgis dari gereja lain, dan sebagainya. Segala cara dilakukan untuk
mempertahankan anggota jemaatnya sekaligus menginjili orang yang sudah Kristen. Pada
akhirnya, aliran dan denominasi gereja yang tidak kuat dan tidak mampu secara
ekonomi akan tersingkir dan gereja tutup.
Bentuk kepemimpinan yang sering ditunjukan oleh para pendeta
dewasa ini adalah bagaimana seseorang mampu meningkatkan kualitas dirinya pada
satu pihak dan menghegemoni orang lain pada sisi yang lain. Padahal kualitas
seorang pendeta tidak terletak pada saat membuat orang lain terpengaruh dan
takluk kepadanya, apalagi muncul ketergantungan terhadap dirinya sebagai orang yang berkuasa. Kualitas seorang pendeta dapat terlihat ketika menghargai perbedaan yang ada, sikap bijaksana, mengerti
kesusahan orang lain, selalu menghormati orang yang lebih tua, menyokong
kebersamaan, dan melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin gereja sesuai panggilan Allah.
B.
Kepemimpinan Majelis Jemaat
Majelis jemaat
merupakan salah satu bentuk struktur organisasi yang diakui oleh gereja secara
umum, kendati sebagian gereja di Indonesia tidak menganut sistem ini. Unsur-unsur
majelis jemaat terdiri dari pendeta, penatua, dan diaken. Namun yang akan dibahas
dalam point ini hanya jabatan penatua dan diaken saja, karena jabatan pendeta
telah diuraikan pada point sebelumnya.
1) Penatua
John Calvin (Hall,
2009:455) mengakui adanya beberapa jabatan dalam pemerintahan gereja yaitu:
doktor (guru/pengajar), gembala (pendeta/penginjil), penatua, dan diaken. Pada
dasarnya, jabatan penatua merupakan suatu jabatan yang strategis dalam struktur
organisasi gereja karena bertugas untuk memerintah dan mendisplinkan jalannya
pelayanan gereja. Setiap penatua harus memiliki integritas, berhikmat, dan bijaksana
dalam melaksanakan segala tugas yang diberikan Allah kepadanya. Seorang penatua
dipilih oleh jemaat. Penatua haruslah orang-orang yang saleh dan rela berkorban
mendampingi pendeta dalam menegakkan serta mendisplinkan moral anggota jemaat.
Dengan melihat
tugas penatua sebagai salah satu pemberi disiplin dalam gereja selain pendeta, maka
jabatan ini disebut juga sebagai penilik jemaat. Dalam Kisah Para Rasul 20:17,
28 rasul Paulus menegaskan bahwa jabatan penatua memiliki pengertian dan fungsi
yang sama dengan penilik jemaat yang bertugas untuk menegakkan disiplin dan
menjaga kemurnian iman serta pengajaran kitab suci di dalam gereja. Jabatan
penilik dalam masyarakat Yunani Kuno merupakan sebuah jabatan yang digunakan
secara luas karena bertugas sebagai mandor, pengurus, pengawas, pengawal, pengatur,
inspektur, dan penguasa. Orang Kristen mula-mula memilih istilah penilik yang
sama dengan penatua untuk fungsi dan tugas tersebut.
Penggunaan istilah
penatua atau penilik dalam kemajelisan gereja merupakan bagian integral pada
sebuah ranah kebudayaan masyarakat Kristen setempat. Hal ini ditegaskan oleh Strauch
(2008:55) bahwa meskipun kedua istilah itu menunjukkan badan yang terdiri dari
orang-orang yang sama, penatua (elder)
mencerminkan keturunan orang Yahudi yang menekankan martabat, kematangan,
kehormatan, dan kebijaksanaan, sementara penilik (overseer) mencerminkan keturunan orang yang berbahasa Yunani yang
menekankan tugas kepenilikan atau penggembalaan.
Secara umum peran
penatua dalam gereja berdasarkan Alkitab terdiri atas 3 (tiga) bagian penting,
yaitu:
a.
Melindungi jemaat. Rasul Paulus
dengan sukacita selalu mengingatkan para penatua di Efesus tentang tugas dan
fungsi mereka di jemaat Efesus. Mereka harus melindungi diri dan jemaat dari
berbagai pengajaran guru-guru palsu atau pun nabi-nabi palsu. Dalam Kisah Para Rasul 20:28 berkata: “Karena
itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan
Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya
dengan darah Anak-Nya sendiri.”
b.
Berkhotbah dan Mengajar Jemaat. Jumlah
pengkhotbah pada zaman para rasul tentu tidak sebanyak pendeta atau penginjil
pada saat ini. Rasul Paulus yang medan penginjilannya yang sangat luas sehingga
posisinya tidak menetap pada salah satu jemaat.
Oleh sebab itu, peranan penatua dapat mengambil alih tugas rasul atau
pendeta pada saat itu. Penatua yang baik kepemimpinannya patut dihormati dua
kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar (1
Timotius 5:17).
c.
Menggembalakan Jemaat. Sebelum
memimpin dan menggembalakan jemaat terlebih dahulu harus mampu memimpin diri
sendiri maupun keluarganya. Suksesnya pelayanan seorang penatua sangat
ditentukan oleh pengaruh dan peran serta anggota keluarganya seperti istri dan
anak-anaknya. Dalam 1 Timotius 3:5 menegaskan: “Jikalau seorang tidak
tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat
Allah?”
Ketiga tugas
penatua di atas menunjukkan bahwa jabatan ini tidak sama kedudukannya dengan
pendeta. Penatua bukan menjadi boss atas pendeta, melainkan rekan sepelayanan. Akan tetapi, posisi penatua dewasa ini
sesungguhnya sudah melampaui peran dan tugas yang diamanatkan oleh Allah secara
alkitabiah. Mereka sering memposisikan dirinya sebagai penguasa gereja. Mereka
memiliki kuasa untuk mengatur bahkan berani memberhentikan pendeta atau
penginjil dari gereja apabila tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkannya.
Padahal penatua bisa dikatakan sebagai “pembantu” pendeta dalam melaksanakan
pelayanan gerejawi.
Akibat
penyalahgunaan peran penatua dalam gereja, sebagian gereja tidak menggunakan
sistem ini. Mereka menganggap pemimpin gereja dipegang oleh pendeta. Untuk
membantu tugas-tugas pelayanan gereja lainnya maka dipilih beberapa pengurus
gereja yang dikoordinir langsung oleh pendeta atau penginjil yang bersangkutan.
Segala keputusan yang menyangkut pelayanan gereja berada dalam kendali
kekuasaan pendeta. Bila dilihat dari aspek keberhasilannya maka gereja yang
mengadopsi paham ini justru mengalami pertumbuhan dalam pelayanan gerejanya.
Pendeta sebagai ketua mejelis jemaat atau pemimpin tertinggi dalam organisasi
gereja tersebut. Konflik kepentingan dalam gereja pun sangat minim karena
diatur oleh satu orang, sehingga fokus
pelayanan lebih terarah dan berhasil.
Dalam melaksanakan
tugas pelayanan gereja tentunya tidak ada yang tinggi dan rendah. Semua pelayanan
yang dilakukan harus bertujuan untuk memuliakan Allah. Fungsi dan perannya saja
yang berbeda-beda sesuai dengan talenta serta panggilan Allah atas mereka
masing-masing. Seringkali fungsi dan peran ini dilupakan oleh setiap penatua. Kerancuan
akan tugas penatua membawa dampak negatif bagi gereja, sehingga gereja tidak
berkembang dan seringkali terjadi perpecahan.
2) Diaken
Secara etimologi
kata diaken berasal dari bahasa Yunani yaitu diakonos, diakonoi, diakonia,
diakoneo, dan episkopos yang berarti para pelayan atau hamba. Dengan
melihat kembali sejarah perjalanan gereja pada awalnya menunjukkan bahwa
pemilihan diaken pertama sekali dilakukan oleh para rasul di Yerusalem. Selama masa pelayanan rasul Paulus kata diakonos sering dipakai untuk menyebut
para pekerja dalam pelayanan kepada Kristus, tugas para rasul, pengajar,
pemberita injil, atau pembantu gereja lainnya.
Secara jujur harus
diakui bahwa latar belakang pembentukan jabatan diaken ini karena adanya
sungut-sungut di antara orang Kristen Yahudi berbahasa Yunani terhadap orang
Kristen Ibrani. Orang Kristen Ibrani melalaikan pembagian bantuan kepada
janda-janda miskin pada waktu itu. Alkitab mencatat diaken yang pertama dalam
gereja berjumlah 7 orang, yaitu: Stefanus, Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon,
Parmenas, dan Nikolaus (Kisah Para Rasul 6:5). Ketujuh diaken ini bertugas
untuk membantu para rasul di dalam membagikan bantuan kepada janda-janda
miskin. Jadi, tugas diaken adalah
membantu pelayanan pendeta atau penginjil dalam hal diakonia atau bantuan
sosial.
Kata diakonos di atas lebih menunjuk pada
tugas para diaken karena orang Kristen mula-mula lebih sering memakai kata ini
untuk jabatan baru di dalam gereja khususnya dalam membantu orang-orang miskin
atau menderita. Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Hall (2009:456) seorang
profesor sejarah gereja di America Reformed Seminaries bahwa diaken-diaken
dipanggil oleh Kristus untuk memelihara orang miskin dalam gereja. Oleh sebab
itu, syarat menjadi seorang diaken yang alkitabiah adalah: terkenal baik, penuh
Roh Kudus, berhikmat, orang terhormat, tidak bercabang lidah (pembohong), bukan
peminum anggur (pemabuk), tidak serakah, tidak bercacat, setia pada satu istri,
pengurus keluarga yang baik, tidak cinta uang, dan sebagainya (Kisah Para Rasul
6:3; 1 Timotius 3:8-13).
Apakah setiap
diaken sudah memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh Allah dalam
gereja-Nya dewasa ini? Jawaban atas pertanyaan tersebut sangat sulit apabila
melihat proses pemilihan para diaken dalam setiap gereja. Seringkali persyaratan
ini tidak begitu penting karena pemilihan diaken selalu melihat sisi
kemanusiaannya daripada rohaninya. Biasanya diaken yang terpilih dalam gereja
adalah pribadi-pribadi yang berpengaruh karena kekuasaannya ataupun memiliki
uang yang banyak.
Dampak negatif yang
ditimbulkan atas kesalahan pemilihan ini membuat para diaken tidak mengerti
akan tugas dan perannya di dalam gereja. Tidak mengherankan prioritas pelayanan
utamanya sebagai pelayan (hamba) yang membantu pendeta tidak terlaksana dengan
baik. Ketimpangan tugas para diaken ini ditegaskan oleh Alexander Strauch
(2008:69) dalam bukunya yang berjudul “Diaken
Dalam Gereja: Penguasa atau Pelayan?”
Dia mengatakan bahwa para diaken hanya berperan sebagai dewan eksekutif dan
pengambil keputusan. Mereka menjadi para eksekutif yang menilai seberapa baik
pelayanan orang lain. Mereka menjadi diaken-dewan, bukan diaken pelayan.
Kebanyakan para diaken di Indonesia tidak mengerti peran dan fungsi mereka di
tengah-tengah jemaat. Mereka identik dengan penguasa dan pemilik gereja.
Dalam beberapa
gereja penyebutan diaken identik dengan pengurus gereja. Gereja yang menganut sistem presbiteri
sinodal lebih banyak diaken daripada penatua. Sehingga tugas dan fungsi penatua
seringkali diambil alih oleh diaken dengan tujuan untuk memerintah gereja atau
memerintah pendeta dan penginjil. Ketika fungsi diaken tidak sesuai dengan
firman Tuhan, maka konflik antara diaken dengan penatua dan diaken dengan
pendeta atau penginjil tidak dapat dihindari. Gereja pun mengalami perpecahan
di mana para diaken ngambek dan
akhirnya mereka keluar dari gereja.
Yang lebih ironis
lagi diaken yang semestinya membantu pendeta untuk tugas pelayanan diakonia
justru berubah fungsi sebagai pemegang kekuasaan, sehingga mereka dapat memecat
pendeta dan penginjil seenaknya. Sikap ini timbul akibat punya pengaruh dalam
gereja, misalnya sebagai penyumbang pembangunan gereja, sering membantu pendeta
atau penginjil dalam hal keuangan, dan lain-lain. Dalam kondisi ini biasanya
pendeta dan penginjil sering “diam” atau bersikap asal bapak senang. Pendeta
dan penginjil takut kehilangan jabatan atau sumber pendapatan. Fungsi diaken yang
sebenarnya sudah melenceng dari rancangan dan panggilan Allah tentang pelayanan
diakonia.
Ketika hubungan
diaken dengan pendeta tidak harmonis maka gereja mengalami kemerosotan moral. Segala
bentuk praktek kekuasaan menjadi senjata ampuh untuk mempertahankan posisinya
masing-masing. Pendeta berusaha mempertahankan diri sesuai argementasi yang
dianggap benar. Begitu pula dengan diaken mencari pendukung dengan berbagai
macam cara untuk menarik simpati jemaat. Penerapan praktek kekuasaan terlihat
jelas ketika berada dalam posisi ini. Mereka saling mempengaruhi jemaat untuk
berpihak kepada yang lebih berkuasa. Mereka mempergunakan segala daya upaya
mulai dari kedudukannya, kekayaannya, dan sebagainya.
Hal inilah yang
ditegaskan oleh Susabda (2006:104) dalam berbagai kasus yang dihadapi oleh
gereja dewasa ini khususnya di Indonesia. Dia menjelaskan bahwa persoalan-persoalan
gereja seringkali menimbulkan pertengkaran-pertengkaran bahkan perpecahan di
antara majelis gereja sendiri. Hasilnya seringkali justru pertengkaran dan
perpecahan bahkan Kristus kepala Gereja tidak dipermuliakan. Selanjutnya,
Strauch (2008:69) kembali menambahkan sehubungan konflik yang biasa terjadi
antara gembala (pendeta) dan diaken mengatakan bahwa organisasi apa pun yang
terdiri dari dua atau lebih kelompok yang bertanggung jawab resmi akan
menghadapi ketegangan.
Diaken dan pendeta
menganggap memiliki kewenangan dan kedudukan yang sama atau pun lebih tinggi
dalam gereja tersebut. Diaken tidak memahami tugasnya dengan baik di dalam
jemaat, justru mengambil alih tugas pendeta. Sebaliknya, pendeta juga merasa
berkuasa sehingga mencampuri tugas diaken. Semakin kita memahami perbedaan fungsi
antara pendeta dan diaken, justru semakin kita dapat menghindari konflik yang
akan mungkin terjadi. Jika kita tidak memahami perbedaannya maka pertikaian dan
kesalahpahaman yang ruwet akan bermunculan, sehingga perpecahan gereja pun
menjadi kenyataan.
C.
Kepemimpinan Majelis Sinode
Pada umumnya
gereja-gereja di Indonesia secara organisasi dipimpin oleh majelis sinode. Kata
sinode atau sinodal berasal dari
kata Yunani sunhodos. Memang kata sunhodos secara harafiah tidak ditemukan dalam Alkitab, tetapi akar katanya yakni sunodeuo atau sunodia masih bisa kita temukan dibeberapa bagian kitab
khususnya dalam Perjanjian Baru. Misalnya kata sunodeuo (Kisah Para Rasul 9:7) dan Sunodia (Lukas 2:44) yang berarti seperjalanan. Jadi, sinode berarti
berjalan bersama, berpikir bersama, dan bertindak bersama demi kemajuan gereja.
Berdasarkan pengertian di atas, majelis sinode merupakan bagian penting
dalam memimpin organisasi gereja. Secara struktur majelis sinode merupakan
pemimpin tertinggi dalam sebuah denominasi gereja yang menganut sistem ini.
Anggota majelis sinode terdiri dari pendeta, penatua, dan diaken dari gereja
lokal. Keanggotaan ini terbentuk setelah mengadakan pemilihan pada sidang
sinode. Pada bidang tertentu kemungkinan para penatua dan diaken bisa menjadi
anggota majelis sinode sesuai dengan keahlian dan kompetensi yang mereka
miliki. Bidang yang dimaksud seperti bendahara, tata usaha, hukum, pendidikan,
dan sebagainya.
Gereja-gereja yang menganut sistem sinodal biasanya segala keputusan dan
teknis dalam pelayanan gerejawi ditentukan oleh majelis sinode. Mulai dari
peraturan gereja, liturgi, keuangan, administrasi, dan sebagainya. Seluruh
gereja lokal harus tunduk serta melaksanakan segala ketentuan sinode tersebut.
Tidak mengherankan dalam setiap gereja yang sistem sinodenya teratur dan ketat
maka bahan-bahan khotbah yang disampaikan pada setiap kebaktian minggu dan
ibadah lainnya hampir semua sama dalam satu wilayah atau seluruh Indonesia.
Bentuk sistem pemerintahan gereja seperti ini tidak menjadi masalah
apabila dilakukan dengan dasar yang benar sesuai Alkitab serta tujuannya untuk
hormat kemuliaan Allah. Akan tetapi, jika sistem ini dilakukan hanya dengan
keadaan terpaksa atau “asal bapak senang” karena melihat sinode sebagai atasan
dari gereja lokal maka dapat dipastikan pelayanan gereja tidak akan pernah maksimal.
Segala bentuk pelayanan gereja dilakukan sesuai aturan-aturan yang sudah
ditetapkan oleh majelis sinode.
Pelayanan gereja yang tidak maksimal biasanya terjadi karena hanya untuk
memenuhi tuntutan atau target yang ditentukan oleh majelis sinode. Ditambah
lagi setiap pendeta di gereja lokal biasanya berpindah-pindah dalam periode tertentu.
Pendeta tidak merasakan secara mendalam kebutuhan-kebutuhan gereja lokal. Akibatnya
gereja tidak pernah mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Pelayanan
gereja hanya bersifat stagnan, bahkan bisa memungkinkan pelayanan gereja
semakin merosot baik secara kualitas maupun kuantitas. Tidak maksimalnya pelayanan
pendeta dalam gereja sering dijadikan alasan oleh penatua dan diaken untuk memindahkan
dan memecatnya.
Sistem kemajelisan sinode memiliki kelebihan dan kelemahannya
masing-masing. Kelebihannya segala keputusan dilakukan secara demokrasi, sedangkan
kekurangannya proses pelayanan gereja sering terlambat karena selalu mengadakan
rapat untuk meminta persetujuan bersama. Memang tidak ada manusia yang sempurna
termasuk para pemimpin gereja. Apapun bentuk kewenangan yang dimiliki oleh
pelayan gereja baik pendeta, penginjil, majelis jemaat, dan majelis sinode,
sebaiknya harus dilakukan untuk hormat dan kemulian Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar