A.
Konsep Kekuasaan
Konsep kekuasaan
dalam pandangan Barker (2006:10) yaitu kekuasaan bukan hanya perekat yang
menyatukan kehidupan sosial atau kekuatan koersif sekumpulan orang atas orang
lain, melainkan proses yang membangun dan membuka jalan bagi adanya
segala bentuk tindakan. Definisi ini hampir
sama dengan Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan yang memaparkan bahwa
kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat
menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak
pertama (Budiardjo, 2008:60). Pihak pertama yang dimaksud yaitu semua pemilik
atau penentu kekuasaan termasuk lembaga agama.
Pemimpin lembaga agama secara langsung dan tidak langsung pasti memiliki kekuasaan.
Kekuasaan secara langsung dapat dilihat pada diri seorang pemimpin yang
otoriter, sedangkan kekuasaan yang tidak langsung dapat dilihat dari pribadi
seorang pemimpin yang menggunakan perangkat-perangkat keagamaan sebagai cara
untuk memuluskan tindakan kekuasaannya. Perangkat keagamaan ini berupa kitab suci, hukum agama, jabatan, tata cara keagamaan, doktrin, dan sebagainya.
Dengan mencermati
konsep kekuasaan di atas sesungguhnya praktek-praktek kekuasaan seperti itu
sering ditemukan dalam gereja sebagai lembaga kerohaniaan. Penerapan praktek kekuasaan
yang menyimpang ini seringkali dilakukan oleh pemimpin gereja. Oleh sebab itu, Hall (2009:457) mengingatkan semua pemimpin gereja dan orang Kristen dengan
mengatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya merusak; kekuasaan
mutlak merusak secara mutlak.
Kendati kekuasaan
itu pada dasarnya merusak, namun kekuasaan Allah berbeda dengan kekuasaan manusia.
Allah berkuasa atas umat-Nya agar selalu hidup benar. Kekuasaan Allah adalah sempurna dalam
kebenaran mutlak, keadilan, kemurahan, hikmat yang sempurna. Kekuasaan Allah selalu bertujuan untuk mendidik, mengajar, dan memberi
keadilan bagi seluruh umat-Nya. Kekuasaan Allah
harus bisa direfleksikan oleh setiap pemimpin dalam pelayanan gereja.
Gereja adalah lembaga
kerohanian sekaligus sebagai lembaga
sosial. Sebagai lembaga sosial berarti gereja menjadi tempat berkumpul dan
bersosialisasinya sejumlah manusia yang berasal dari berbagai latar
belakang kehidupan sosial dan budayanya. Sementara sebagai lembaga kerohanian, gereja menunjukkan diri sebagai tempat berkumpulnya sejumlah orang yang percaya
kepada Yesus Kristus. Kedua unsur ini selalu
ada berdampingan dalam lembaga gereja.
Gereja berperan sebagai organisasi rohani yang ada di dunia ini selain di Surga. Pada saat gereja masih berada di
dunia ini kemungkinan besar kepemimpinan gereja akan selalu
berhadapan dengan sekularisme serta segala bentuk kekuasaan yang bertentangan dengan
Allah. Tidak heran jika ada sebagian pemimpin gereja yang merasa berkuasa dan
menjadikan hak milik atau warisan keluarga atas sebuah gereja.
Sebagai lembaga kerohanian pada
umumnya gereja dipimpin oleh seorang pendeta, penginjil,
majelis, ataupun sinode. Setiap pemimpin gereja dipanggil oleh Allah sesuai
dengan tujuan-Nya yaitu agar menjadi berkat bagi semua
orang. Akan tetapi, sebagian pemimpin gereja dewasa ini menjalankan
tugas panggilannya hanya untuk kepuasan diri sendiri maupun kelompoknya. Pemimpin yang mementingkan dirinya sendiri dan
kelompoknya sudah pasti menggunakan segala bentuk kekuasaan untuk
mencapai tujuan tersebut. Anggota jemaat selalu menjadi
korban dan sasaran kekuasaannya.
B.
Pemimpin Gereja Memiliki Kuasa
Secara jujur harus
diakui bahwa setiap pribadi pemimpin gereja pasti memiliki kekuasaan. Yesus
sendiri memiliki kekuasaan bahkan disebut sebagai Allah Yang Mahakuasa. Setiap
orang percaya teristimewa para pemimpin gereja pasti mendapatkan kekuasaan
dari-Nya. Dia memberikan kuasa dengan tujuan untuk mengatur, memelihara alam
ciptaan, dan jemaat-Nya. Tidak ada satu pun pemimpin gereja atau lembaga
kekristenan yang tidak memiliki kuasa. Apapun bentuk dan model kekuasaan yang ada pada mereka seharusnya lebih berorientasi untuk menunjang kegiatan
pelayanan gerejawi. Hal ini diperlukan untuk membentuk karakter setiap warga jemaat.
Bentuk kekuasaan ini lebih bersifat rohani dan alkitabiah.
Hampir setiap orang
mengidentikkan pribadi pemimpin adalah kekuasaan atau kedudukan. Seorang yang memiliki kekuasaan
pasti bisa menentukan atau mengatur kebijakan-kebijakan atas orang lain.
Seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan tentu akan memperoleh begitu banyak
kemudahan dalam berbagai hal. Menjadi pemimpin tentu suatu hal yang membanggakan karena selalu ingin dihormati.
Bukan rahasia lagi jika begitu banyak orang ingin menjadi seorang pemimpin. Ada yang berkeinginan menjadi Presiden, Ketua DPR, Ketua MPR, pemimpin
agama, pemimpin lembaga pemerintahan, pemimpin perusahaan, dan sebagainya. Keinginan besar ini tentunya bukan masalah. Umumnya pemimpin yang memiliki
ambisi dalam mencapai kedudukan itu selalu tujuannya untuk berkuasa, kebanggaan, kemudahan, kekayaan, korupsi, asusila, dan
sebagainya. Harus disadari bahwa menjadi seorang pemimpin
harus memiliki kecakapan, integritas, keahlian serta kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Pemimpin memiliki kemampuan dalam memprakarsai tingkah laku
sosial serta mampu mengontrol setiap orang di bawah
kepemimpinannya.
Pendekatan yang sering dilakukan
oleh seoerang pemimpin untuk mencapai
tujuannya yaitu secara persuasif atau kekerasan. Adanya sebuah harapan
agar setiap anggotanya dapat menerima berbagai kebijakan serta keputusannya secara sukarela. Walaupun keputusan itu sering bertentangan dengan
aturan yang sudah ada. Kewenangan seorang pemimpin tentu tidak habis untuk diungkapkan pada topik ini, baik yang bersifat sekuler apalagi yang bersifat rohaniah
seperti pemimpin gereja saat ini.
Pada dasarnya
setiap kekuasaan yang dipakai untuk menguasai sesamanya akan
berdampak negatif pada setiap level hubungan sosialnya. Kekuasaan dapat merusak setiap tatanan kehidupan sosial. Dalam analisis Budiardjo (2008:62) bahwa sumber kekuasaan dapat berupa
kedudukan, kekayaan, kepercayaan. Selain itu juga kekuasaan bersumber lewat tingkatan pendidikan, agama,
gereja, dan sebagainya. Artinya, sepanjang pribadi seseorang
ada kesempatan untuk menguasai orang lain, pada saat itu pula dia memiliki
kekuasaan yang absolut untu diterapkan.
Apakah sebenarnya arti
menjadi pemimpin gereja? Hampir semua gereja di dunia ini dapat kita menemukan praktek-praktek kekuasaan. Ada kekuasaan yang bertujuan positif, tetapi juga lebih banyak yang negatif.
Tujuan positifnya apabila pemimpin gereja memakai fungsi kekuasaannya dalam membimbing anggota jemaat agar taat kepada Tuhan. Dengan harapan setiap anggota
jemaat meningkat kualitas kerohaniannya. Sebaliknya, ketika
pemimpin gereja memaksa jemaat tunduk dan taat kepada dia untuk kepentingan
pribadi, kepentingan kelompok, kepentingan organisasi, dan kepentingan sinodenya, maka hakikat kekuasaan semacam itu pasti bertujuan negatif.
Praktek kekuasaan yang
bertujuan positif sejalan dengan pandangan John Calvin yang diadopsi oleh Hall (2009:457) bahwa kekuasaan dalam gereja merupakan
dampak atas karya penebusan Kristus bagi gereja-Nya, sehingga setiap anggota
gereja dituntut untuk menyatakan kasih, kehormatan, dan ketaatan pada
Firman-Nya. Kristus yang berkuasa atas gereja-Nya. Kekuasaan-Nya bersifat
rohani sehingga setiap pemimpin gereja dituntut untuk rendah hati,
membimbing anggota gereja, memuliakan Allah, taat pada Firman, dan
mensejahterakan gereja-Nya. Kekuasaan rohani pasti berbeda dengan kekuasaan
sekuler.
Kekuasaan dalam gereja sebagian besar terletak pada pemimpin gereja secara lokal yaitu pendeta, penginjil, penatua, dan diaken. Kekuasaan yang lain juga berada di tangan kepemimpinan dewan-dewan gereja seperti
Sinode, Bishop, dan Ephorus. Semua pemimpin gereja ini diberi kewenangan untuk menyandang “senjata rohani” menurut tujuan Kristus. Hal ini bertujuan
dalam rangka membangun tatanan kehidupan orang Kristen agar lebih baik dan benar, tetapi bukan untuk menghancurkan mereka.
Dengan melihat
kewenangan para pemimpin gereja di atas, maka kita diingatkan kembali oleh Calvin (Hall, 2009:458) yang tetap mempertahankan
tiga aspek kekuasaan dalam gereja, yaitu:
1.
Kekuasaan untuk
menghasilkan doktrin biblikal dengan setia.
2.
Kekuasaan dalam
mengimpletasikan yuridiksi.
3.
Kekuasaan untuk melegislasi
gereja.
Perkembangan praktek
kekuasaan dalam gereja selama ini sudah tidak mencirikan kekuasaan Kristus
sebagaimana tiga aspek yang ditegaskan oleh Calvin di atas. Kekuasaan gereja telah kehilangan arah dan makna
teologisnya. Kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin gereja saat ini justru lebih berorientasi untuk memenuhi kehendaknya sendiri atau kepentingan golongannya. Kondisi ini dapat diibaratkan seperti seorang pemimpin gereja yang
memakai “dua jas” sekaligus dengan warna yang berbeda-beda. Pribadi yang sama namun memiliki motivasi ganda. Di satu sisi memakai “jas” sebagai pemimpin
gereja, tetapi di sisi lain mamakai “jas” dengan predikat
penguasa seperti pemimpin sekuler pada umumnya.
C.
Kekuasaan Yang Otoriter
Pada umumnya manusia
memiliki sifat rasa tidak pernah puas terhadap apa yang
dimilikinya. Anggapan semacam ini berlaku juga pada pribadi pemimpin gereja. Mereka terus berusaha membuat
terobosan baru atas gereja sesuai keinginannya. Ketika konsep ini diterapkan maka jalan yang paling cepat untuk
merealisasikannya yaitu menggunakan segala bentuk kekuasaan. Konsekuensinya akan
terjadi benturan antara pemimpin dengan pemimpin atau pemimpin dengan jemaatnya.
Ketika kondisi ini berlangsung maka kedamaian dalam gereja tidak akan terwujud.
Gereja akan mengalami perpecahan demi perpecahan.
Perpecahan yang
terjadi selama ini sebagai akibat dari implementasi kekuasaan yang tidak
Alkitabiah. Saya yakin setiap pemimpin gereja pasti menyadari dan
mampu membedakan benar atau salah prinsip kepemimpinan yang diterapkannya dalam gereja selama ini. Kendati
kesadaran akan hal itu ada, tetapi umumnya mereka tetap menyalahgunakan kekuasaan itu dengan asumsi untuk menjalankan perintah atasan ataupun
lembaganya. Mereka menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan dari
Tuhan. Mereka melayani untuk kepentingan diri sendiri atau kepuasaan sementara bagi
pemimpinnya yang lebih tinggi. Kita harus jeli dan
berhati-hati terhadap gelagat pemimpin seperti itu. Kita harus mengevaluasi setiap
pelayanan yang kita lakukan selama ini.
Pemimpin gereja di
seluruh dunia termasuk di Indonesia memiliki kekuasaan dan kebebasan dalam
membuat suatu perubahan dalam gereja yang dipimpinnya. Setiap perubahan yang dilakukan biasanya
menimbulkan konflik dalam gereja. Kembali kita melihat proses reformasi yang
dilakukan oleh Marthin Luther, Zwingli, Johanes Calvin, dan beberapa tokoh gereja lainnya yang terus melakukan perubahan sampai saat ini. Perubahan yang hendak dicapai biasanya sebagian orang
menganggapnya positif, tetapi sebaliknya tidak sedikit orang juga yang menilainya negatif.
Reformasi adalah
perubahan, tetapi perubahan tidak identik dengan perpecahan gereja. Secara jujur reformasi yang dilakukan oleh Luther tidak pernah bertujuan untuk menambah aliran dan denominasi gereja. Kendati demikian, sebagai akibat dari reformasinya justru
perpecahan gereja terus mengalami peningkatan sampai saat ini. Reformasi awal ini sangat mempengaruhi pribadi para pemimpin gereja di
seluruh dunia. Mereka memiliki keberanian untuk mengadakan
perubahan demi tercapainya keinginan hati dan kelompoknya.
Perubahan itu
penting untuk dilakukan, tetapi bukan bertujuan untuk memisahkan diri dari
aliran dan denominasi gereja yang sudah ada sebelumnya. Jangan menambah daftar
panjang bertambahnya jumlah aliran dan denominasi gereja yang baru. Oleh sebab
itu, setiap pemimpin gereja harus memiliki sikap rendah hati, penuh kasih,
menerima kritik yang membangun, dan tidak egois. Apabila kekuasaan yang
otoriter semata yang lebih ditonjolkan daripada sikap kasih serta panggilan
memberitakan Injil, maka gereja akan kehilangan jati dirinya sebagai lembaga
kerohanian.
D. Hegemoni Pemimpin Kepada Jemaat
Konsep hegemoni
biasanya hanya dapat ditemui pada bidang atau ruang lingkup ilmu politik, ilmu sosial, ilmu hukum, dan bidang ilmu lainnya.
Ilmu teologi seakan
menghindari diri dari konsep hegemoni seperti ini. Walaupun pada bagian tertentu hal ini kadang bersinggungan, namun rasa dan
dampaknya tidak seperti yang terlihat pada ilmu politik dan ilmu hukum di atas. Hal ini dikarenakan ilmu teologi lebih
spesifik dalam menata kehidupan rohani manusia, secara khusus
kehidupan orang Kristen dengan Tuhannya.
Selama ini terkesan
ilmu teologi terhindar
dari segala bentuk kekerasan, kekuasaan, dominasi, atau hegemoni itu sendiri. Sementara ilmu sosial sering dicap atau lebih dominan mengupas
tentang fenomena-fenomena sosial yang terjadi di
masyarakat seperti kekerasan, kekuasaan, dan sebagainya. Pada kenyataannya, pemimpin dalam gereja justru melakukan hegemoni
terhadap anggota jemaatnya dalam berbagai lini kebijakan.
Untuk menegaskan area dan power konsep hegemoni ini, sangat perlu kita melihat sejenak pendapat Gramsci (Barker, 2006:62) yang menggunakan centaur mitologi Yunani yaitu setengah binatang dan setengah
manusia sebagai simbol ‘perspektif ganda’ suatu tindakan politik, otoritas,
kekerasan, dan kekuatan. Hegemoni
berarti situasi di mana suatu ‘blok historis’ faksi kelas berkuasa menjalankan
otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi
antara kekuatan, dan terlebih lagi dengan konsensus. Dengan demikian, area dan power hegemoni seorang pemimpin gereja dapat
ditelusuri pada beberapa aspek di bawah ini.
1. Hegemoni Dalam Aspek Ideologi
Objek kerja hegemoni
berafiliasi pada sebuah ideologi yang dianut oleh seorang pemimpin pada bidang tertentu. Perangkat kerja ini biasanya dilakukan oleh pranata
masyarakat sipil (civil society)
termasuk lembaga agama yaitu gereja dan
kelompok-kelompok kepentingan (interest
groups). Dalam
analisis Nyoman Kuta Ratna (2005:136) menyatakan bahwa hegemoni terjadi apabila cara berpikir kelompok
tertindas, khususnya kaum proletar telah terobsesi dan menerima cara berpikir
kolompok dominan. Perlu diketahui bahwa
transformasi dan pengambilan cara berpikir sebagaimana yang dimaksudkan dalam
teori ini tidak terbatas dalam bidang politik, dan moral, melainkan juga dalam kepemimpinan gereja baik yang ada di Indonesia dan luar
negeri.
Setelah mengamati
sikap para pemimpin gereja yaitu pendeta, penginjil, majelis gereja, dan majelis sinode terhadap anggota
jemaatnya, maka konsep dan teori hegemoni telah tertanam dalam suasana bergereja. Dalam hal ini anggota jemaat
menjadi kelas subordinat. Pemimpin gereja
memiliki kewenangan dalam mengatur anggota jemaat dengan tujuan agar hidup kudus dan benar sesuai kehendak Allah. Selain dari batasan wewenang itu telah memasuki ranah ideologi sebagaimana dimiliki oleh seorang pemimpin
sehingga menjadi kekejian di hadapan Allah.
Para pemimpin saat ini
sebagian besar telah keluar dari jalur sebagai pemimpin gereja yang benar.
Setiap keputusan yang diambil justru bertujuan untuk memenuhi keinginannya atau
demi terlaksananya paham dari suatu aliran dan denominasi
gereja yang dipimpinnya. Misalnya, seorang pendeta dapat memutuskan dan menetapkan suatu aturan tertentu walaupun anggota jemaatnya
merasa keberatan untuk melaksanakannya. Mereka memiliki kapasitas sebagai pemimpin rohani, sehingga secara terpaksa anggota jemaat mengikuti segala keputusan itu
dengan hati yang penuh sungut-sungut. Pemaksaan ini dapat
dilakukan melalui hegemoni dalam jabatan, hegemoni dalam penegakkan disiplin gereja, hegemoni dalam pemaksaan memberi persembahan, dan berbagai bentuk
hegemoni lainnya.
2. Hegemoni Dalam Aspek Ekonomi
Orang Kristen yang memiliki uang banyak
juga berpeluang untuk menduduki jabatan pendeta, majelis gereja, atau pun
majelis sinode. Dengan keuangan yang dimilikinya berkesempatan untuk
mempengaruhi anggota gereja yang kemudian dipilih pada jabatan tertentu.
Jabatan dapat diraih dengan uang dan uang dianggap segala-galanya, kendati
mereka tidak memiliki kompetensi dalam memimpin gereja. Sesungguhnya pada
tataran ini praktek hegemoni sudah mulai diterapkan dalam gereja.
Selain itu beberapa
orang Kristen yang berpendidikan non-teologi berambisi menjadi pendeta demi
kekuasaan dan uang. Mereka berusaha memperoleh pengetahuan teologi seadanya dengan
mengikuti berbagai seminar, atau mengikuti kuliah singkat di sekolah teologi
yang tidak resmi untuk memperoleh ijasah sarjana teologi. Mereka menempuh cara ini untuk melegalkan kepemimpinannya dalam gereja.
Kemampuan finansial dapat membeli jabatan spiritual yang selanjutnya membeli
gedung gereja sesuai aturannya sendiri. Kebiasaan ini sudah lama terjadi dalam gereja sebagaimana Kuhl (1997:110)
tegaskan bahwa pemimpin gereja pada waktu itu adalah kaum feodal yang memegang
kendali ekonomi dengan memeras keringat rakyat demi keuntungan besar. Faktor
ekonomi sangat mempengaruhi pelayanan gereja.
Kemampuan finansial seorang pendeta juga dapat mempengaruhi kehidupan orang lain. Biasanya memberi bantuan bagi orang kurang mampu berupa pekerjaan, uang, atau tempat tinggal. Konsekuensi atas segala bantuan itu mengharapkan imbalan dengan menjadi anggota gereja yang dipimpinnya. Kendati mereka sudah memiliki tempat ibadah. Dalam konteks ini menunjukkan adanya hegemoni pemimpin bagi anggota jemaat. Sikap ini sangat bertentangan dengan
Amanat Agung Tuhan Yesus yaitu melaksanakan tugas pemberitaan
Injil secara benar.
Bila kita menggunakan
uang dengan baik maka sangat membantu pelayanan gereja. Akan tetapi, jika uang
menjadi penguasa dalam gereja termasuk untuk mendapatkan kedudukan maka
dipastikan lembaga spritual yang kita kenal selama ini berubah fungsi menjadi
arena bisnis belaka. Gereja tidak bisa berada pada posisi seperti ini. Gereja
harus mampu menunjukkan jati dirinya sebagai lembaga anti korupsi yang
alkitabiah.
3. Hegemoni Dalam Aspek Persembahan
Uang sangat
mempengaruhi seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Hampir semua manusia takluk
bila melihat uang. Dengan uang bisa memutarbalikan kebenaran. Kenyataan ini
pula yang terjadi dalam beberapa gereja. Ada pendeta yang memaksakan anggota jemaat untuk memberi persembahan. Berbagai dalil dilakukan untuk “membius” anggota jemaat sehingga berani
memberikan persembahan.
Alkitab memang
menekankan kewajiban jemaat memberi persembahan kepada Tuhan untuk memajukan pelayanan gereja. Ada persembahan syukur, persembahan sukarela, persepuluhan, persembahan pembangunan, persembahan diakonia, dan sebagainya. Begitu banyak nats dalam Alkitab tentang kewajiban memberi persembahan,
tetapi dua nats populer yang sering digunakan oleh setiap
pendeta yang orientasi pelayanannya hanya pada persembahan.
Dalam kitab Perjanjian Lama yaitu Maleakhi 3:10 berkata: “Bawalah seluruh
persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada
persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam,
apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan
berkat kepadamu sampai berkelimpahan.” Sementara dalam kitab Perjanjian Baru
berkata: “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan
dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi
dengan sukacita” (2 Korintus 9:7).
Dari kedua nats
Alkitab di atas menunjukkan bahwa Allah menyuruh setiap umat memberi
persembahan secara jujur, sukarela, dan penuh sukacita demi kemajuan
pelayanan gereja. Persembahan yang sering disoroti adalah persembahan
persepuluhan. Persembahan persepuluhan adalah persembahan yang diberikan kepada
Allah untuk dipergunakan dalam pelayanan gereja. Persembahan ini dapat diartikan sebagai persembahan yang sempurna.
Sistem pemberian persembahan ini tergantung pada bentuk pekerjaan jemaat seperti PNS, karyawan swasta, profesional, buruh, petani, pembantu
rumah tangga, pengusaha, guru, pendeta, pemulung, dan lain-lain. Artinya, apapun bentuk pekerjaan
anggota jemaat yang sifatnya halal diwajibkan
memberi persembahan persepuluhan kepada Tuhan.
Dalam memberi
persembahan kepada Tuhan sering menjadi masalah dalam gereja. Pemimpin yang memiliki otoritas serta berkuasa
dalam gereja biasanya menggunakan nats Alkitab ini untuk menakut-nakuti sekaligus memaksa anggota jemaat untuk memberi persembahan. Bagi
gereja yang manajemennya sudah teratur dan gaji pendeta sudah ditetapkan
maka penerapan persembahan ini tidak terlalu dipersoalkan. Sementara gereja yang memiliki aturan bahwa seluruh persembahan
persepuluhan jemaat diserahkan kepada pendetanya tentu motif pemaksaan akan berlaku.
Motif pemaksaan
secara langsung dan tidak langsung dalam memberikan persembahan sudah lama
terjadi dalam gereja di Indonesia. Bila jumlah persembahan persepuluhan seluruh
jemaat setiap bulannya seratus juta rupiah, maka dapat dipastikan pendetanya
menjadi orang kaya dan jemaatnya tetap
miskin. Banyak pendeta berlomba-lomba membuat aliran dan denominasi gereja untuk tujuan tersebut. Mereka
melakukannya untuk memperoleh uang yang banyak. Model dan motif pelayanan seperti inilah yang membuat perpecahan dalam
gereja semakin meluas.
Para pendeta memakai Firman Allah untuk menipu anggota jemaat. “Bawalah seluruh persembahan
persepuluhan itu ... mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.” Pendeta
sering menafsirkan ayat ini dengan menganjurkan jemaatnya: “Jika memberi persembahan persepuluhan yang banyak maka akan ditambahkan
oleh Allah secara berlimpah-limpah kepadamu”. Jemaat memberi persembahan kepada Allah hanya bertujuan untuk memperoleh
berkat yang banyak. Kebaikan Allah kepada
manusia tidak dapat dinilai dengan besarnya jumlah uang yang
dipersembahkan. Prinsip ini telah menyimpang dari panggilannya sebagai orang Kristen sejati.
Allah menghendaki
setiap orang Kristen memberi persembahan dengan motivasi
yang benar. Persembahan berguna bagi pelayanan gereja. Kita memberi persembahan sebagai bentuk ucapan syukur atas berkat
yang telah diterima dari-Nya. Memberi persembahan
dalam berbagai bentuk bukan bertujuan untuk menambah harta, tetapi sebagai
bentuk ketaatan dan penyerahan diri. Dia sanggup memelihara hidup umat-Nya.
Kelimpahan berkat yang
Allah berikan kepada umat-Nya tidak tergantung pada jumlah persembahan yang kita diberikan. Akan tetapi, melalui ketaatan, kejujuran, dan keyakinan iman menjadi dasarnya. Apabila motivasi kita salah dalam
memberi persembahan, maka persembahan sebesar apapun bagi Tuhan tidak ada artinya dan tentu tidak diberkati. Justru harta yang
masih ada pada kita, Allah akan
“mengambilnya” dengan cara-Nya sendiri. Allah yang memiliki segala-galanya di dunia ini termasuk harta kita. Manusia hanya sebagai peminjam sementara.
Tanpa kita sadari
praktek-praktek pelayanan yang menyimpang selama ini telah ada di beberapa
gereja di Indonesia. Kejujuran dan kerendahan hati dari setiap pemimpin gereja
diuji pada konteks ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang gencar
memberantas korupsi di masyarakat umum, sebenarnya masalah korupsi juga sudah
ada di gereja yang sifatnya terselubung. Yudas Iskariot yang menjual Tuhan
Yesus salah satu tindakan korupsi yang tercatat di Alkitab.
Apapun bentuk
kekuasaan yang diterapkan di dalam gereja telah melukai hati setiap jemaat,
kendati mereka tidak berani mengungkapkannya secara langsung. Saatnya kita mengintropeksi
diri sebagai pemimpin gereja dari berbagai aliran dan denominasi. Apakah sikap
dan praktek kekuasaan yang kita terapkan sesuai dengan kewenangan yang
diberikan oleh Tuhan? Jangan kita menghegomi anggota jemaat untuk tujuan
kepentingan pribadi dan kelompok. Marilah melayani jemaat Allah dengan benar
sesuai kebenaran Firman Tuhan.
E.
Kekuasaan Rohani vs Sekuler
Apa perbedaan
pemimpin gereja dengan pemimpin sekuler? Bila dilihat dari bentuk tugasnya
memang berbeda, tetapi penerapan nilai-nilai dari panggilan pelayanan
sesungguhnya hampir sama. Apapun jabatan atau tugas yang kita emban harus
menjadi berkat bagi orang lain dan demi kemuliaan nama Tuhan. Para pemimpin
sekuler bisa menjadi alat untuk menyatakan kasih Yesus. Hanya saja kebanyakan
pemimpin ini lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain.
Seyogianya pemimpin
gereja dan sekuler seharusnya memiliki karakter kepemimpinan yang bijaksana. Pada kenyataannya antara kedua pemimpin ini sulit dibedakan. Fungsi mereka sama-sama menggunakan kekuasaan sebagai senjata ampuh untuk melemahkan bahkan “membunuh”
lawan-lawanya sampai tidak mampu bangkit lagi. Mereka mencari keuntungan di balik
kekuasaan dan kedudukan yang dimilikinya.
Pemimpin gereja sudah mulai kehilangan integritasnya. Fakta ini dapat
dilihat berdasarkan sejarah perjalanan gereja setelah Tuhan Yesus naik ke Surga. Apabila kita menelusuri lebih jauh lagi sebelum ada istilah gereja,
kekuasaan telah berkembang di dalam agama Yahudi. Ketika Tuhan Yesus melayani
di dunia kira-kira 3 tahun, pengaruh kekuasaan agama Yahudi
sangat bertolak belakang dengan ajaran Tuhan Yesus. Jadi, dapat dikatakan di
mana ada gereja maka di sanalah tumbuh subur
kekuasaan, baik kekuasaan yang sifatnya rohani maupun secara sekuler.
Pemimpin
gereja adalah pribadi yang dipanggil oleh Allah secara khusus. Mereka harus memiliki kecakapan dan kepribadian yang patut diteladani oleh
seluruh anggota jemaat. Mereka harus menjadi figur
tokoh agama yang dihormati karena kebijaksanaan yang dimilikinya. Berhasilnya seorang pemimpin tidak
terletak pada tataran pengetahuan tentang konsep
dan teori kepemimpinan belaka, tetapi lebih penting lagi pada tindakan nyata melalui kasih, keadilan, kerukunan, kedamaian, dan kesejahteraan
semua orang.
Seseorang dipanggil
oleh Allah bukan hanya untuk memimpin gereja, tetapi kehadirannya juga dapat menjadi berkat bagi masyarakat umum. Oleh sebab itu, pemimpin gereja harus memiliki tanggung jawab yang besar
terhadap perkembangan anggota jemaat dan masyarakat di sekitarnya. Lahirnya
seorang pemimpin gereja maupun sekuler dapat ditinjau berdasarkan beberapa teori yang dijabarkan oleh Lay (2006:84)
dalam bukunya yang berjudul “Manajemen
Pelayanan”, yakni:
1.
Teori
genetis (hereditas), yaitu pemimpin yang memiliki bakat sejak dalam
kandungan/dilahirkan (leaders are born and not made).
2.
Teori
sosial, yaitu pemimpin disiapkan/dibentuk oleh oleh orangtua atau pihak
tertentu sehingga menjadi pemimpin (leaders
are made and not born).
3.
Teori
ekologis (sintetis), yaitu seorang pemimpin muncul melalui bakat-bakat yang ada
sejak kelahirannya, kemudian dipersiapkan melalui
pengalaman dan pendidikan formal.
Selain teori di atas, ada satu teori yang paling mendasar munculnya seorang pemimpin yaitu teori Ilahi. Menurut hemat penulis bahwa teori inilah yang paling awal dan utama dalam
perjalanan hidup manusia. Sebagai umat beragama secara khusus orang Kristen mengakui
segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia dan seluruh isi dunia ini berada dalam providensi Allah. Jadi, setiap
pemimpin sejati terlebih dahulu
dipersiapkan oleh Allah, sehingga memiliki integritas kepemimpinan yang baik pada setiap medan
pelayanannya.
Kadang kita mendengar selintingan suara menyatakan pemimpin
gereja lebih baik daripada pemimpin sekuler. Pemimpin gereja tidak haus
kekuasaan. Apakah benar anggapan itu? Apakah pemimpin gereja sejak jaman Tuhan Yesus hingga sekarang ini sudah benar? Kedudukan pemimpin dengan tujuan kekuasaan tidak hanya terjadi di dunia
sekuler saja? Justru penerapan kekuasan sangat terasa di gereja karena
menganggap diri mereka sebagai wakil Allah di dunia. Mereka mempunyai legalitas
untuk mengatur setiap orang yang berada di bawah kekuasaannya.
Memang pemimpin gereja berdasarkan Alkitab
berbeda fungsinya dengan pemimpin sekuler. Pemimpin gereja berarti orientasi kepemimpinannya lebih kepada memimpin umat
Tuhan dalam organisasi gereja. Seorang pemimpin
gereja harus memiliki ciri
kepemimpinan Kristus. Dalam hal ini mereka harus memiliki sikap mengenal Allah,
menaati kehendak Allah, bergantung kepada
Allah, mengasihi Allah dan manusia, dan akhirnya memuliakan Allah. Namun semua sikap ini belum dipenuhi oleh
mereka yang berkecipung dalam pelayanan gereja.
Dalam organisasi gereja mana pun di dunia ini keinginan seseorang menjadi pemimpin sangat
banyak peminatnya. Siapa yang menyangka jika murid-murid Yesus pun bertengkar
karena ingin menjadi pemimpin yang terbesar di
antara murid yang lain? Hal-hal seperti inilah yang membuat Yesus begitu
prihatin atas kehidupan murid-murid-Nya yang tidak mengerti apa sebenarnya arti dan tugas dari seorang pemimpin gereja. Setiap pemimpin bukan hanya sekedar jabatan dan kekuasaan,
melainkan harus rela berkorban dalam setiap aspek pelayanannya.
Sikap para murid yang berusaha merebut kedudukan di samping
Tuhan Yesus menunjukkan sebuah sikap kepemimpinan yang haus kekuasaan. Yesus menegaskan bahwa adanya perbedaan esensial antara
pemimpin gereja dengan pemimpin sekuler. Dalam Injil Markus 10:40, 42-44
berkata: “Tetapi hal duduk di sebelah kanan-Ku atau di sebelah kiri-Ku, Aku
tidak berhak memberikannya. Itu akan diberikan kepada orang-orang bagi siapa
itu telah disediakan. Tetapi Yesus memanggil
mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah
bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya
menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara
kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi
pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu,
hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.”
Perkataan Tuhan Yesus di atas menunjukkan sebuah perbedaan mendasar tentang karakter pemimpin gereja dengan pemimpin sekuler. Pemimpin agama seperti
gereja sangat berbeda dengan Presiden, MPR, DPR, DPRD, manager perusahaan, dan sebagainya. Seorang pemimpin gereja tidak boleh
menerapkan kekuasaan yang dimilikinya melewati norma dan
fungsi seorang pemimpin sejati sebagaimana yang diharapkan oleh Tuhan Yesus.
Apabila fungsi kepemimpinan ini disalahgunakan maka warga gereja mengalami
kebimbangan dalam imannya serta memicu sikap saling tidak percaya dalam gereja.
Salah pengertian
tentang tugas pemimpin gereja dapat menimbulkan konflik. Alkitab mencatat salah satu peristiwa perpecahan gereja yang terjadi di dalam
jemaat Korintus. Dalam konteks ini
rasul Paulus menasihatkan jemaat Korintus dengan berkata: “Tetapi aku
menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya
kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya
supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir. Yang aku maksudkan ialah, bahwa
kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan
Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus” (1
Korintus 1:10, 12).
Keadaan jemaat
Korintus menunjukkan sebuah perpecahan yang
disebabkan oleh pengaruh kekuasaan dari para pemimpinnya. Masih banyak lagi bentuk-bentuk perpecahan yang terjadi seputar pelayanan gereja,
baik pada masa PL maupun PB. Perpecahan yang kita lihat saat ini merupakan rentetan dari buah perpecahan gereja sebelumnya. Pada konteks ini kembali terlintas
diingatan kita tentang kekuasaan dalam Gereja Roma Katolik. Hal ini membuktikan di dalam gereja ada kekuasaan yang
terselubung.
Sebagai reaksi atas
ketidakpuasaan kepemimpinan Paus pada waktu itu maka perpecahan dalam gereja tidak dapat terhindarkan. Pada awal abad ke-16 agama Kristen menjadi dua aliran yaitu agama Kristen
Katolik dan Kristen Protestan. Perlawanan terhadap setiap keputusan Paus ini
diawali oleh Marthin Luther pada tahun 1483-1546 dengan mengeluarkan 95 dalil. Kemudian sentralistis dan hierarkisnya kepemimpinan gereja pada abad
ke-19 memutuskan bahwa “Sri Paus tidak bisa keliru, kalau dia mengucapkan suatu
keputusan di bidang aqidah atau etika.” Keputusan konsili Vatikan I pada tahun
1870 ini sangat memperkuat kedudukan Paus dalam gereja Katolik (Steenbrink, 1987:3).
Walaupun demikian
besar kekuasaan yang dimiliki oleh Paus, namun dalam pandangan Ratna (2008:8) bahwa mobilitas agama Kristen Protestan diakui lebih memiliki
intensitas cukup kuat sesuai dengan etika Protestan dibandingkan dengan Kristen
Katolik pada waktu itu. Oleh sebab itu, dalam karya ini lebih memberi perhatian
serius dalam menganalisa kepemimpinan dalam gereja Protestan daripada gereja Katolik. Perpecahan dalam gereja Kristen Protestan sangat banyak.
Setiap pemimpin gereja pasti memiliki kuasa dalam mengatur kehidupan warga jemaatnya. Dalam agama Kristen
Protestan sistem kepemimpinan gerejanya masih agak rumit karena
begitu banyak aliran dan denominasinya. Sejauh ini telah
banyak praktek kekuasaan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Kepemimpinan
mereka lebih banyak fokus untuk kepentingan diri ataupun kelompoknya
masing-masing. Apabila praktek kekuasaan yang tidak alkitabiah terus dilakukan
maka gereja dipastikan mengalami perpecahan yang besar pada masa yang akan
datang.
Tuhan Yesus murka terhadap seorang pemimpin yang haus akan kekuasaan. Kendati Dia memberi kuasa untuk
memimpin, tetapi bukan untuk tujuan menguasai orang lain dengan semena-mena demi terwujudnya kepentingan pribadi atau alirannya. Pemimpin sejati
menurut Tuhan Yesus adalah bukan dalam hal kekuasaan, kedudukan, kebanggaan, tetapi menjadi semakin besar dalam hal iman, kerendahan hati,
watak yang benar, hikmat, penguasaan diri, sabar, dan mengasihi semua orang tanpa terkecuali. Seorang pemimpin gereja harus memiliki jiwa seorang pelayan! Fokus pemimpin sejati
adalah menghasilkan buah dan bukan membesarkan diri
tetapi membesarkan orang lain.
Ciri pemimpin yang sejati
yaitu terus memberi kesempatan kepada orang lain untuk hidup lebih baik, bertumbuh, berkembang, dan berbuah lebih
banyak dari sebelumnya. Adanya pendelegasian tongkat kepemimpinan kepada orang lain, sehingga pada suatu saat akan
menghasilkan pemimpin gereja yang baru dan berkualitas. Dia tidak pernah cemburu saat orang yang dipimpinnya dulu menjadi pribadi yang berhasil atau menjadi
pemimpin kelak. Itulah yang Yesus lakukan! Tugas pemimpin sejati adalah
melayani dan membesarkan orang lain untuk menjadi pemimpin yang berkarakter rohani, berintegritas, dan mau melayani.
Memberkati isi bukunya pak pendeta
BalasHapus