Gereja Pecah

Gereja Pecah

Minggu, 30 Agustus 2015

BAB V KEKUASAAN DALAM GEREJA

A.    Konsep Kekuasaan
Konsep kekuasaan dalam pandangan Barker (2006:10) yaitu kekuasaan bukan hanya perekat yang menyatukan kehidupan sosial atau kekuatan koersif sekumpulan orang atas orang lain, melainkan proses yang membangun dan membuka jalan bagi adanya segala bentuk tindakan. Definisi ini hampir sama dengan Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan yang memaparkan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama (Budiardjo, 2008:60). Pihak pertama yang dimaksud yaitu semua pemilik atau penentu kekuasaan termasuk lembaga agama.
Pemimpin lembaga agama secara langsung dan tidak langsung pasti memiliki kekuasaan. Kekuasaan secara langsung dapat dilihat pada diri seorang pemimpin yang otoriter, sedangkan kekuasaan yang tidak langsung dapat dilihat dari pribadi seorang pemimpin yang menggunakan perangkat-perangkat keagamaan sebagai cara untuk memuluskan tindakan kekuasaannya. Perangkat keagamaan ini berupa kitab suci, hukum agama, jabatan, tata cara keagamaan, doktrin, dan sebagainya.
Dengan mencermati konsep kekuasaan di atas sesungguhnya praktek-praktek kekuasaan seperti itu sering ditemukan dalam gereja sebagai lembaga kerohaniaan. Penerapan praktek kekuasaan yang menyimpang ini seringkali dilakukan oleh pemimpin gereja. Oleh sebab itu, Hall (2009:457) mengingatkan semua pemimpin gereja dan orang Kristen dengan mengatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya merusak; kekuasaan mutlak merusak secara mutlak.
Kendati kekuasaan itu pada dasarnya merusak, namun kekuasaan Allah berbeda dengan kekuasaan manusia. Allah berkuasa atas umat-Nya agar selalu hidup benar. Kekuasaan Allah adalah sempurna dalam kebenaran mutlak, keadilan, kemurahan, hikmat yang sempurna. Kekuasaan Allah selalu bertujuan untuk mendidik, mengajar, dan memberi keadilan bagi seluruh umat-Nya. Kekuasaan Allah harus bisa direfleksikan oleh setiap pemimpin dalam pelayanan gereja.
Gereja adalah lembaga kerohanian sekaligus sebagai lembaga sosial. Sebagai lembaga sosial berarti gereja menjadi tempat berkumpul dan bersosialisasinya sejumlah manusia yang berasal dari berbagai latar belakang kehidupan sosial dan budayanya. Sementara sebagai lembaga kerohanian, gereja menunjukkan diri sebagai tempat berkumpulnya sejumlah orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Kedua unsur ini selalu ada berdampingan dalam lembaga gereja.
Gereja berperan sebagai organisasi rohani yang ada di dunia ini selain di Surga. Pada saat gereja masih berada di dunia ini kemungkinan besar kepemimpinan gereja akan selalu berhadapan dengan sekularisme serta segala bentuk kekuasaan yang bertentangan dengan Allah. Tidak heran jika ada sebagian pemimpin gereja yang merasa berkuasa dan menjadikan hak milik atau warisan keluarga atas sebuah gereja.
Sebagai lembaga kerohanian pada umumnya gereja dipimpin oleh seorang pendeta, penginjil, majelis, ataupun sinode. Setiap pemimpin gereja dipanggil oleh Allah sesuai dengan tujuan-Nya yaitu agar menjadi berkat bagi semua orang. Akan tetapi, sebagian pemimpin gereja dewasa ini menjalankan tugas panggilannya hanya untuk kepuasan diri sendiri maupun kelompoknya. Pemimpin yang mementingkan dirinya sendiri dan kelompoknya sudah pasti menggunakan segala bentuk kekuasaan untuk mencapai tujuan tersebut. Anggota jemaat selalu menjadi korban dan sasaran kekuasaannya.
B.    Pemimpin Gereja Memiliki Kuasa
Secara jujur harus diakui bahwa setiap pribadi pemimpin gereja pasti memiliki kekuasaan. Yesus sendiri memiliki kekuasaan bahkan disebut sebagai Allah Yang Mahakuasa. Setiap orang percaya teristimewa para pemimpin gereja pasti mendapatkan kekuasaan dari-Nya. Dia memberikan kuasa dengan tujuan untuk mengatur, memelihara alam ciptaan, dan jemaat-Nya. Tidak ada satu pun pemimpin gereja atau lembaga kekristenan yang tidak memiliki kuasa. Apapun bentuk dan model kekuasaan yang ada pada mereka seharusnya lebih berorientasi untuk menunjang kegiatan pelayanan gerejawi. Hal ini diperlukan untuk membentuk karakter setiap warga jemaat. Bentuk kekuasaan ini lebih bersifat rohani dan alkitabiah.
Hampir setiap orang mengidentikkan pribadi pemimpin adalah kekuasaan atau kedudukan. Seorang yang memiliki kekuasaan pasti bisa menentukan atau mengatur kebijakan-kebijakan atas orang lain. Seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan tentu akan memperoleh begitu banyak kemudahan dalam berbagai hal. Menjadi pemimpin tentu suatu hal yang membanggakan karena selalu ingin dihormati.
Bukan rahasia lagi jika begitu banyak orang ingin menjadi seorang pemimpin. Ada yang berkeinginan menjadi Presiden, Ketua DPR, Ketua MPR, pemimpin agama, pemimpin lembaga pemerintahan, pemimpin perusahaan, dan sebagainya. Keinginan besar ini tentunya bukan masalah. Umumnya pemimpin yang memiliki ambisi dalam mencapai kedudukan itu selalu tujuannya untuk berkuasa, kebanggaan, kemudahan, kekayaan, korupsi, asusila, dan sebagainya. Harus disadari bahwa menjadi seorang pemimpin harus memiliki kecakapan, integritas, keahlian serta kelebihan dibandingkan dengan yang lain. Pemimpin memiliki kemampuan dalam memprakarsai tingkah laku sosial serta mampu mengontrol setiap orang di bawah kepemimpinannya.
Pendekatan yang sering dilakukan oleh seoerang pemimpin untuk mencapai tujuannya yaitu secara persuasif atau kekerasan. Adanya sebuah harapan agar setiap anggotanya dapat menerima berbagai kebijakan serta keputusannya secara sukarela. Walaupun keputusan itu sering bertentangan dengan aturan yang sudah ada. Kewenangan seorang pemimpin tentu tidak habis untuk diungkapkan pada topik ini, baik yang bersifat sekuler apalagi yang bersifat rohaniah seperti pemimpin gereja saat ini.
Pada dasarnya setiap kekuasaan yang dipakai untuk menguasai sesamanya akan berdampak negatif pada setiap level hubungan sosialnya. Kekuasaan dapat merusak setiap tatanan kehidupan sosial. Dalam analisis Budiardjo  (2008:62) bahwa sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan, kekayaan, kepercayaan. Selain itu juga kekuasaan bersumber lewat tingkatan pendidikan, agama, gereja, dan sebagainya. Artinya, sepanjang pribadi seseorang ada kesempatan untuk menguasai orang lain, pada saat itu pula dia memiliki kekuasaan yang absolut untu diterapkan.
Apakah sebenarnya arti menjadi pemimpin gereja? Hampir semua gereja di dunia ini dapat kita menemukan praktek-praktek kekuasaan. Ada kekuasaan yang bertujuan positif, tetapi juga lebih banyak yang negatif. Tujuan positifnya apabila pemimpin gereja memakai fungsi kekuasaannya dalam membimbing anggota jemaat agar taat kepada Tuhan. Dengan harapan setiap anggota jemaat meningkat kualitas kerohaniannya. Sebaliknya, ketika pemimpin gereja memaksa jemaat tunduk dan taat kepada dia untuk kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, kepentingan organisasi, dan kepentingan sinodenya, maka hakikat kekuasaan semacam itu pasti bertujuan negatif.
Praktek kekuasaan yang bertujuan positif sejalan dengan pandangan John Calvin yang diadopsi oleh Hall (2009:457) bahwa kekuasaan dalam gereja merupakan dampak atas karya penebusan Kristus bagi gereja-Nya, sehingga setiap anggota gereja dituntut untuk menyatakan kasih, kehormatan, dan ketaatan pada Firman-Nya. Kristus yang berkuasa atas gereja-Nya. Kekuasaan-Nya bersifat rohani sehingga setiap pemimpin gereja dituntut untuk rendah hati, membimbing anggota gereja, memuliakan Allah, taat pada Firman, dan mensejahterakan gereja-Nya. Kekuasaan rohani pasti berbeda dengan kekuasaan sekuler.
Kekuasaan dalam gereja sebagian besar terletak pada pemimpin gereja secara lokal yaitu pendeta, penginjil, penatua, dan diaken. Kekuasaan yang lain juga berada di tangan kepemimpinan dewan-dewan gereja seperti Sinode, Bishop, dan Ephorus. Semua pemimpin gereja ini diberi kewenangan untuk menyandang “senjata rohani” menurut tujuan Kristus. Hal ini bertujuan dalam rangka membangun tatanan kehidupan orang Kristen agar lebih baik dan benar, tetapi bukan untuk menghancurkan mereka.
Dengan melihat kewenangan para pemimpin gereja di atas, maka kita diingatkan kembali oleh Calvin (Hall, 2009:458) yang tetap mempertahankan tiga aspek kekuasaan dalam gereja, yaitu:
1.     Kekuasaan untuk menghasilkan doktrin biblikal dengan setia.
2.     Kekuasaan dalam mengimpletasikan yuridiksi.
3.     Kekuasaan untuk melegislasi gereja.
Perkembangan praktek kekuasaan dalam gereja selama ini sudah tidak mencirikan kekuasaan Kristus sebagaimana tiga aspek yang ditegaskan oleh Calvin di atas. Kekuasaan gereja telah kehilangan arah dan makna teologisnya. Kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin gereja saat ini justru lebih berorientasi untuk memenuhi kehendaknya sendiri atau kepentingan golongannya. Kondisi ini dapat diibaratkan seperti seorang pemimpin gereja yang memakai “dua jas” sekaligus dengan warna yang berbeda-beda. Pribadi yang sama namun memiliki motivasi ganda.  Di satu sisi memakai “jas” sebagai pemimpin gereja, tetapi di sisi lain mamakai “jas” dengan predikat penguasa seperti pemimpin sekuler pada umumnya. 
C.    Kekuasaan Yang Otoriter
Pada umumnya manusia memiliki sifat rasa tidak pernah puas terhadap apa yang dimilikinya. Anggapan semacam ini berlaku juga pada pribadi pemimpin gereja. Mereka terus berusaha membuat terobosan baru atas gereja sesuai keinginannya. Ketika konsep ini diterapkan maka jalan yang paling cepat untuk merealisasikannya yaitu menggunakan segala bentuk kekuasaan. Konsekuensinya akan terjadi benturan antara pemimpin dengan pemimpin atau pemimpin dengan jemaatnya. Ketika kondisi ini berlangsung maka kedamaian dalam gereja tidak akan terwujud. Gereja akan mengalami perpecahan demi perpecahan.
Perpecahan yang terjadi selama ini sebagai akibat dari implementasi kekuasaan yang tidak Alkitabiah. Saya yakin setiap pemimpin gereja pasti menyadari dan mampu membedakan benar atau salah prinsip kepemimpinan yang diterapkannya dalam gereja selama ini. Kendati kesadaran akan hal itu ada, tetapi umumnya mereka tetap menyalahgunakan kekuasaan itu dengan asumsi untuk menjalankan perintah atasan ataupun lembaganya. Mereka menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan dari Tuhan. Mereka melayani untuk kepentingan diri sendiri atau kepuasaan sementara bagi pemimpinnya yang lebih tinggi. Kita harus jeli dan berhati-hati terhadap gelagat pemimpin seperti itu. Kita harus mengevaluasi setiap pelayanan yang kita lakukan selama ini.
Pemimpin gereja di seluruh dunia termasuk di Indonesia memiliki kekuasaan dan kebebasan dalam membuat suatu perubahan dalam gereja yang dipimpinnya. Setiap perubahan yang dilakukan biasanya menimbulkan konflik dalam gereja. Kembali kita melihat proses reformasi yang dilakukan oleh Marthin Luther, Zwingli, Johanes Calvin, dan beberapa tokoh gereja lainnya yang terus melakukan perubahan sampai saat ini. Perubahan yang hendak dicapai biasanya sebagian orang menganggapnya positif, tetapi sebaliknya tidak sedikit orang juga yang menilainya negatif.
Reformasi adalah perubahan, tetapi perubahan tidak identik dengan perpecahan gereja. Secara jujur reformasi yang dilakukan oleh Luther tidak pernah bertujuan untuk menambah aliran dan denominasi gereja. Kendati demikian, sebagai akibat dari reformasinya justru perpecahan gereja terus mengalami peningkatan sampai saat ini. Reformasi awal ini sangat mempengaruhi pribadi para pemimpin gereja di seluruh dunia. Mereka memiliki keberanian untuk mengadakan perubahan demi tercapainya keinginan hati dan kelompoknya.
Perubahan itu penting untuk dilakukan, tetapi bukan bertujuan untuk memisahkan diri dari aliran dan denominasi gereja yang sudah ada sebelumnya. Jangan menambah daftar panjang bertambahnya jumlah aliran dan denominasi gereja yang baru. Oleh sebab itu, setiap pemimpin gereja harus memiliki sikap rendah hati, penuh kasih, menerima kritik yang membangun, dan tidak egois. Apabila kekuasaan yang otoriter semata yang lebih ditonjolkan daripada sikap kasih serta panggilan memberitakan Injil, maka gereja akan kehilangan jati dirinya sebagai lembaga kerohanian.
D.    Hegemoni Pemimpin Kepada Jemaat
Konsep hegemoni biasanya hanya dapat ditemui pada bidang atau ruang lingkup ilmu politik, ilmu sosial, ilmu hukum, dan bidang ilmu lainnya. Ilmu teologi seakan menghindari diri dari konsep hegemoni seperti ini. Walaupun pada bagian tertentu hal ini kadang bersinggungan, namun rasa dan dampaknya tidak seperti yang terlihat pada ilmu politik dan ilmu hukum di atas. Hal ini dikarenakan ilmu teologi lebih spesifik dalam menata kehidupan rohani manusia, secara khusus kehidupan orang Kristen dengan Tuhannya.
Selama ini terkesan ilmu teologi terhindar dari segala bentuk kekerasan, kekuasaan, dominasi, atau hegemoni itu sendiri. Sementara ilmu sosial sering dicap atau lebih dominan mengupas tentang fenomena-fenomena sosial yang terjadi di masyarakat seperti kekerasan, kekuasaan, dan sebagainya. Pada kenyataannya, pemimpin dalam gereja justru melakukan hegemoni terhadap anggota jemaatnya dalam berbagai lini kebijakan.
Untuk menegaskan area dan power konsep hegemoni ini, sangat perlu kita melihat sejenak pendapat Gramsci (Barker, 2006:62) yang menggunakan centaur mitologi Yunani yaitu setengah binatang dan setengah manusia sebagai simbol ‘perspektif ganda’ suatu tindakan politik, otoritas, kekerasan, dan kekuatan.  Hegemoni berarti situasi di mana suatu ‘blok historis’ faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan, dan terlebih lagi dengan konsensus. Dengan demikian, area dan power hegemoni seorang pemimpin gereja dapat ditelusuri pada beberapa aspek di bawah ini.
1.    Hegemoni Dalam Aspek Ideologi
Objek kerja hegemoni berafiliasi pada sebuah ideologi yang dianut oleh seorang pemimpin pada bidang tertentu. Perangkat kerja ini biasanya dilakukan oleh pranata masyarakat sipil (civil society) termasuk lembaga agama yaitu gereja dan kelompok-kelompok kepentingan (interest groups). Dalam analisis Nyoman Kuta Ratna (2005:136) menyatakan bahwa hegemoni terjadi apabila cara berpikir kelompok tertindas, khususnya kaum proletar telah terobsesi dan menerima cara berpikir kolompok dominan. Perlu diketahui bahwa transformasi dan pengambilan cara berpikir sebagaimana yang dimaksudkan dalam teori ini tidak terbatas dalam bidang politik, dan moral, melainkan juga dalam kepemimpinan gereja baik yang ada di Indonesia dan luar negeri.
Setelah mengamati sikap para pemimpin gereja yaitu pendeta, penginjil, majelis gereja, dan majelis sinode terhadap anggota jemaatnya, maka konsep dan teori hegemoni telah tertanam dalam suasana bergereja. Dalam hal ini anggota jemaat menjadi kelas subordinat. Pemimpin gereja memiliki kewenangan dalam mengatur anggota jemaat dengan tujuan agar hidup kudus dan benar sesuai kehendak Allah. Selain dari batasan wewenang itu telah memasuki ranah ideologi sebagaimana dimiliki oleh seorang pemimpin sehingga menjadi kekejian di hadapan Allah.
Para pemimpin saat ini sebagian besar telah keluar dari jalur sebagai pemimpin gereja yang benar. Setiap keputusan yang diambil justru bertujuan untuk memenuhi keinginannya atau demi terlaksananya paham dari suatu aliran dan denominasi gereja yang dipimpinnya. Misalnya, seorang pendeta dapat memutuskan dan menetapkan suatu aturan tertentu walaupun anggota jemaatnya merasa keberatan untuk melaksanakannya. Mereka memiliki kapasitas sebagai pemimpin rohani, sehingga secara terpaksa anggota jemaat mengikuti segala keputusan itu dengan hati yang penuh sungut-sungut. Pemaksaan ini dapat dilakukan melalui hegemoni dalam jabatan, hegemoni dalam penegakkan disiplin gereja, hegemoni dalam pemaksaan memberi persembahan, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya.
2.    Hegemoni Dalam Aspek Ekonomi
Orang Kristen yang memiliki uang banyak juga berpeluang untuk menduduki jabatan pendeta, majelis gereja, atau pun majelis sinode. Dengan keuangan yang dimilikinya berkesempatan untuk mempengaruhi anggota gereja yang kemudian dipilih pada jabatan tertentu. Jabatan dapat diraih dengan uang dan uang dianggap segala-galanya, kendati mereka tidak memiliki kompetensi dalam memimpin gereja. Sesungguhnya pada tataran ini praktek hegemoni sudah mulai diterapkan dalam gereja.
Selain itu beberapa orang Kristen yang berpendidikan non-teologi berambisi menjadi pendeta demi kekuasaan dan uang. Mereka berusaha memperoleh pengetahuan teologi seadanya dengan mengikuti berbagai seminar, atau mengikuti kuliah singkat di sekolah teologi yang tidak resmi untuk memperoleh ijasah sarjana teologi. Mereka menempuh cara ini untuk melegalkan kepemimpinannya dalam gereja. Kemampuan finansial dapat membeli jabatan spiritual yang selanjutnya membeli gedung gereja sesuai aturannya sendiri. Kebiasaan ini sudah lama terjadi dalam gereja sebagaimana Kuhl (1997:110) tegaskan bahwa pemimpin gereja pada waktu itu adalah kaum feodal yang memegang kendali ekonomi dengan memeras keringat rakyat demi keuntungan besar. Faktor ekonomi sangat mempengaruhi pelayanan gereja.
Kemampuan finansial seorang pendeta juga dapat mempengaruhi kehidupan orang lain. Biasanya memberi bantuan bagi orang kurang mampu berupa pekerjaan, uang, atau tempat tinggal. Konsekuensi atas segala bantuan itu mengharapkan imbalan dengan menjadi anggota gereja yang dipimpinnya. Kendati mereka sudah memiliki tempat ibadah. Dalam konteks ini menunjukkan adanya hegemoni pemimpin bagi anggota jemaat. Sikap ini sangat bertentangan dengan Amanat Agung Tuhan Yesus yaitu melaksanakan tugas pemberitaan Injil secara benar
Bila kita menggunakan uang dengan baik maka sangat membantu pelayanan gereja. Akan tetapi, jika uang menjadi penguasa dalam gereja termasuk untuk mendapatkan kedudukan maka dipastikan lembaga spritual yang kita kenal selama ini berubah fungsi menjadi arena bisnis belaka. Gereja tidak bisa berada pada posisi seperti ini. Gereja harus mampu menunjukkan jati dirinya sebagai lembaga anti korupsi yang alkitabiah.
3.    Hegemoni Dalam Aspek Persembahan
Uang sangat mempengaruhi seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Hampir semua manusia takluk bila melihat uang. Dengan uang bisa memutarbalikan kebenaran. Kenyataan ini pula yang terjadi dalam beberapa gereja. Ada pendeta yang memaksakan anggota jemaat untuk memberi persembahan. Berbagai dalil dilakukan untuk “membius” anggota jemaat sehingga berani memberikan persembahan.
Alkitab memang menekankan kewajiban jemaat memberi persembahan kepada Tuhan untuk memajukan pelayanan gereja. Ada persembahan syukur, persembahan sukarela, persepuluhan, persembahan pembangunan, persembahan diakonia, dan sebagainya. Begitu banyak nats dalam Alkitab tentang kewajiban memberi persembahan, tetapi dua nats populer yang sering digunakan oleh setiap pendeta yang orientasi pelayanannya hanya pada persembahan
Dalam kitab Perjanjian Lama yaitu Maleakhi 3:10 berkata: “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.” Sementara dalam kitab Perjanjian Baru berkata: “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Korintus 9:7).
Dari kedua nats Alkitab di atas menunjukkan bahwa Allah menyuruh setiap umat memberi persembahan secara jujur, sukarela, dan penuh sukacita demi kemajuan pelayanan gereja. Persembahan yang sering disoroti adalah persembahan persepuluhan. Persembahan persepuluhan adalah persembahan yang diberikan kepada Allah untuk dipergunakan dalam pelayanan gereja. Persembahan ini dapat diartikan sebagai persembahan yang sempurna. Sistem pemberian persembahan ini tergantung pada bentuk pekerjaan jemaat seperti PNS, karyawan swasta, profesional, buruh, petani, pembantu rumah tangga, pengusaha, guru, pendeta, pemulung, dan lain-lain. Artinya, apapun bentuk pekerjaan anggota jemaat yang sifatnya halal diwajibkan memberi persembahan persepuluhan kepada Tuhan.
Dalam memberi persembahan kepada Tuhan sering menjadi masalah dalam gereja. Pemimpin yang memiliki otoritas serta berkuasa dalam gereja biasanya menggunakan nats Alkitab ini untuk menakut-nakuti sekaligus memaksa anggota jemaat untuk memberi persembahan. Bagi gereja yang manajemennya sudah teratur dan gaji pendeta sudah ditetapkan maka penerapan persembahan ini tidak terlalu dipersoalkan. Sementara gereja yang memiliki aturan bahwa seluruh persembahan persepuluhan jemaat diserahkan kepada pendetanya tentu motif pemaksaan akan berlaku.
Motif pemaksaan secara langsung dan tidak langsung dalam memberikan persembahan sudah lama terjadi dalam gereja di Indonesia. Bila jumlah persembahan persepuluhan seluruh jemaat setiap bulannya seratus juta rupiah, maka dapat dipastikan pendetanya menjadi orang kaya dan jemaatnya tetap miskin. Banyak pendeta berlomba-lomba membuat aliran dan denominasi gereja untuk tujuan tersebut. Mereka melakukannya untuk memperoleh uang yang banyak. Model dan motif pelayanan seperti inilah yang membuat perpecahan dalam gereja semakin meluas.
Para pendeta memakai Firman Allah untuk menipu anggota jemaat. “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ... mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.” Pendeta sering menafsirkan ayat ini dengan menganjurkan jemaatnya:Jika memberi persembahan persepuluhan yang banyak maka akan ditambahkan oleh Allah secara berlimpah-limpah kepadamu”. Jemaat memberi persembahan kepada Allah hanya bertujuan untuk memperoleh berkat yang banyak. Kebaikan Allah kepada manusia tidak dapat dinilai dengan besarnya jumlah uang yang dipersembahkan. Prinsip ini telah menyimpang dari panggilannya sebagai orang Kristen sejati.
Allah menghendaki setiap orang Kristen memberi persembahan dengan motivasi yang benar. Persembahan berguna bagi pelayanan gereja. Kita memberi persembahan sebagai bentuk ucapan syukur atas berkat yang telah diterima dari-Nya. Memberi persembahan dalam berbagai bentuk bukan bertujuan untuk menambah harta, tetapi sebagai bentuk ketaatan dan penyerahan diri. Dia sanggup memelihara hidup umat-Nya.
Kelimpahan berkat yang Allah berikan kepada umat-Nya tidak tergantung pada jumlah persembahan yang kita diberikan. Akan tetapi, melalui ketaatan, kejujuran, dan keyakinan iman menjadi dasarnya. Apabila motivasi kita salah dalam memberi persembahan, maka persembahan sebesar apapun bagi Tuhan tidak ada artinya dan tentu tidak diberkati. Justru harta yang masih ada pada kita, Allah akan “mengambilnya” dengan cara-Nya sendiri. Allah yang memiliki segala-galanya di dunia ini termasuk harta kita. Manusia hanya sebagai peminjam sementara.
Tanpa kita sadari praktek-praktek pelayanan yang menyimpang selama ini telah ada di beberapa gereja di Indonesia. Kejujuran dan kerendahan hati dari setiap pemimpin gereja diuji pada konteks ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang gencar memberantas korupsi di masyarakat umum, sebenarnya masalah korupsi juga sudah ada di gereja yang sifatnya terselubung. Yudas Iskariot yang menjual Tuhan Yesus salah satu tindakan korupsi yang tercatat di Alkitab.
Apapun bentuk kekuasaan yang diterapkan di dalam gereja telah melukai hati setiap jemaat, kendati mereka tidak berani mengungkapkannya secara langsung. Saatnya kita mengintropeksi diri sebagai pemimpin gereja dari berbagai aliran dan denominasi. Apakah sikap dan praktek kekuasaan yang kita terapkan sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Tuhan? Jangan kita menghegomi anggota jemaat untuk tujuan kepentingan pribadi dan kelompok. Marilah melayani jemaat Allah dengan benar sesuai kebenaran Firman Tuhan.


E.    Kekuasaan Rohani vs Sekuler
Apa perbedaan pemimpin gereja dengan pemimpin sekuler? Bila dilihat dari bentuk tugasnya memang berbeda, tetapi penerapan nilai-nilai dari panggilan pelayanan sesungguhnya hampir sama. Apapun jabatan atau tugas yang kita emban harus menjadi berkat bagi orang lain dan demi kemuliaan nama Tuhan. Para pemimpin sekuler bisa menjadi alat untuk menyatakan kasih Yesus. Hanya saja kebanyakan pemimpin ini lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain.
Seyogianya pemimpin gereja dan sekuler seharusnya memiliki karakter kepemimpinan yang bijaksana. Pada kenyataannya antara kedua pemimpin ini sulit dibedakan. Fungsi mereka sama-sama menggunakan kekuasaan sebagai senjata ampuh untuk melemahkan bahkan “membunuh” lawan-lawanya sampai tidak mampu bangkit lagi. Mereka mencari keuntungan di balik kekuasaan dan kedudukan yang dimilikinya.
Pemimpin gereja sudah mulai kehilangan integritasnya. Fakta ini dapat dilihat berdasarkan sejarah perjalanan gereja setelah Tuhan Yesus naik ke Surga. Apabila kita menelusuri lebih jauh lagi sebelum ada istilah gereja, kekuasaan telah berkembang di dalam agama Yahudi. Ketika Tuhan Yesus melayani di dunia kira-kira 3 tahun, pengaruh kekuasaan agama Yahudi sangat bertolak belakang dengan ajaran Tuhan Yesus. Jadi, dapat dikatakan di mana ada gereja maka di sanalah tumbuh subur kekuasaan, baik kekuasaan yang sifatnya rohani maupun secara sekuler.
Pemimpin gereja adalah pribadi yang dipanggil oleh Allah secara khusus. Mereka harus memiliki kecakapan dan kepribadian yang patut diteladani oleh seluruh anggota jemaat. Mereka harus menjadi figur tokoh agama yang dihormati karena kebijaksanaan yang dimilikinya. Berhasilnya seorang pemimpin tidak terletak pada tataran pengetahuan tentang konsep dan teori kepemimpinan belaka, tetapi lebih penting lagi pada tindakan nyata melalui kasih, keadilan, kerukunan, kedamaian, dan kesejahteraan semua orang. 
Seseorang dipanggil oleh Allah bukan hanya untuk memimpin gereja, tetapi kehadirannya juga dapat menjadi berkat bagi masyarakat umum. Oleh sebab itu, pemimpin gereja harus memiliki tanggung jawab yang besar terhadap perkembangan anggota jemaat dan masyarakat di sekitarnya. Lahirnya seorang pemimpin gereja maupun sekuler dapat ditinjau berdasarkan beberapa teori yang dijabarkan oleh Lay (2006:84) dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Pelayanan”, yakni: 
1.     Teori genetis (hereditas), yaitu pemimpin yang memiliki bakat sejak dalam kandungan/dilahirkan (leaders are born and not made). 
2.     Teori sosial, yaitu pemimpin disiapkan/dibentuk oleh oleh orangtua atau pihak tertentu sehingga menjadi pemimpin (leaders are made and not born).
3.     Teori ekologis (sintetis), yaitu seorang pemimpin muncul melalui bakat-bakat yang ada sejak kelahirannya, kemudian dipersiapkan melalui pengalaman dan pendidikan formal.
Selain teori di atas, ada satu teori yang paling mendasar munculnya seorang pemimpin yaitu teori Ilahi. Menurut hemat penulis bahwa teori inilah yang paling awal dan utama dalam perjalanan hidup manusia. Sebagai umat beragama secara khusus orang Kristen mengakui segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia dan seluruh isi dunia ini berada dalam providensi Allah. Jadi, setiap pemimpin sejati terlebih dahulu dipersiapkan oleh Allah, sehingga memiliki integritas kepemimpinan yang baik pada setiap medan pelayanannya. 
Kadang kita mendengar selintingan suara menyatakan pemimpin gereja lebih baik daripada pemimpin sekuler. Pemimpin gereja tidak haus kekuasaan. Apakah benar anggapan itu? Apakah pemimpin gereja sejak jaman Tuhan Yesus hingga sekarang ini sudah benar? Kedudukan pemimpin dengan tujuan kekuasaan tidak hanya terjadi di dunia sekuler saja? Justru penerapan kekuasan sangat terasa di gereja karena menganggap diri mereka sebagai wakil Allah di dunia. Mereka mempunyai legalitas untuk mengatur setiap orang yang berada di bawah kekuasaannya.
Memang pemimpin gereja berdasarkan Alkitab berbeda fungsinya dengan pemimpin sekuler. Pemimpin gereja berarti orientasi kepemimpinannya lebih kepada memimpin umat Tuhan dalam organisasi gereja. Seorang pemimpin gereja harus memiliki ciri kepemimpinan Kristus. Dalam hal ini mereka harus memiliki sikap mengenal Allah, menaati kehendak Allah, bergantung kepada Allah, mengasihi Allah dan manusia, dan akhirnya memuliakan Allah. Namun semua sikap ini belum dipenuhi oleh mereka yang berkecipung dalam pelayanan gereja.
Dalam organisasi gereja mana pun di dunia ini keinginan seseorang menjadi pemimpin sangat banyak peminatnya. Siapa yang menyangka jika murid-murid Yesus pun bertengkar karena ingin menjadi pemimpin yang terbesar di antara murid yang lain? Hal-hal seperti inilah yang membuat Yesus begitu prihatin atas kehidupan murid-murid-Nya yang tidak mengerti apa sebenarnya arti dan tugas dari seorang pemimpin gereja. Setiap pemimpin bukan hanya sekedar jabatan dan kekuasaan, melainkan harus rela berkorban dalam setiap aspek pelayanannya.
Sikap para murid yang berusaha merebut kedudukan di samping Tuhan Yesus menunjukkan sebuah sikap kepemimpinan yang haus kekuasaan. Yesus menegaskan bahwa adanya perbedaan esensial antara pemimpin gereja dengan pemimpin sekuler. Dalam Injil Markus 10:40, 42-44 berkata: “Tetapi hal duduk di sebelah kanan-Ku atau di sebelah kiri-Ku, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan diberikan kepada orang-orang bagi siapa itu telah disediakan. Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. 
Perkataan Tuhan Yesus di atas menunjukkan sebuah perbedaan mendasar tentang karakter pemimpin gereja dengan pemimpin sekuler. Pemimpin agama seperti gereja sangat berbeda dengan Presiden, MPR, DPR, DPRD, manager perusahaan, dan sebagainya. Seorang pemimpin gereja tidak boleh menerapkan kekuasaan yang dimilikinya melewati norma dan fungsi seorang pemimpin sejati sebagaimana yang diharapkan oleh Tuhan Yesus. Apabila fungsi kepemimpinan ini disalahgunakan maka warga gereja mengalami kebimbangan dalam imannya serta memicu sikap saling tidak percaya dalam gereja.   
Salah pengertian tentang tugas pemimpin gereja dapat menimbulkan konflik. Alkitab mencatat salah satu peristiwa perpecahan gereja yang terjadi di dalam jemaat Korintus. Dalam konteks ini rasul Paulus menasihatkan jemaat Korintus dengan berkata: “Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir. Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus” (1 Korintus 1:10, 12).
Keadaan jemaat Korintus menunjukkan sebuah perpecahan yang disebabkan oleh pengaruh kekuasaan dari para pemimpinnya. Masih banyak lagi bentuk-bentuk perpecahan yang terjadi seputar pelayanan gereja, baik pada masa PL maupun PB. Perpecahan yang kita lihat saat ini merupakan rentetan dari buah perpecahan gereja sebelumnya. Pada konteks ini kembali terlintas diingatan kita tentang kekuasaan dalam Gereja Roma Katolik. Hal ini membuktikan di dalam gereja ada kekuasaan yang terselubung.
Sebagai reaksi atas ketidakpuasaan kepemimpinan Paus pada waktu itu maka perpecahan dalam gereja tidak dapat terhindarkan. Pada awal abad ke-16 agama Kristen menjadi dua aliran yaitu agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Perlawanan terhadap setiap keputusan Paus ini diawali oleh Marthin Luther pada tahun 1483-1546 dengan mengeluarkan 95 dalil. Kemudian sentralistis dan hierarkisnya kepemimpinan gereja pada abad ke-19 memutuskan bahwa “Sri Paus tidak bisa keliru, kalau dia mengucapkan suatu keputusan di bidang aqidah atau etika.” Keputusan konsili Vatikan I pada tahun 1870 ini sangat memperkuat kedudukan Paus dalam gereja Katolik (Steenbrink, 1987:3).
Walaupun demikian besar kekuasaan yang dimiliki oleh Paus, namun dalam pandangan Ratna (2008:8) bahwa mobilitas agama Kristen Protestan diakui lebih memiliki intensitas cukup kuat sesuai dengan etika Protestan dibandingkan dengan Kristen Katolik pada waktu itu. Oleh sebab itu, dalam karya ini lebih memberi perhatian serius dalam menganalisa kepemimpinan dalam gereja Protestan daripada gereja Katolik. Perpecahan dalam gereja Kristen Protestan sangat banyak.
Setiap pemimpin gereja pasti memiliki kuasa dalam mengatur kehidupan warga jemaatnya. Dalam agama Kristen Protestan sistem kepemimpinan gerejanya masih agak rumit karena begitu banyak aliran dan denominasinya. Sejauh ini telah banyak praktek kekuasaan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Kepemimpinan mereka lebih banyak fokus untuk kepentingan diri ataupun kelompoknya masing-masing. Apabila praktek kekuasaan yang tidak alkitabiah terus dilakukan maka gereja dipastikan mengalami perpecahan yang besar pada masa yang akan datang.
Tuhan Yesus murka terhadap seorang pemimpin yang haus akan kekuasaan. Kendati Dia memberi kuasa untuk memimpin, tetapi bukan untuk tujuan menguasai orang lain dengan semena-mena demi terwujudnya kepentingan pribadi atau alirannya. Pemimpin sejati menurut Tuhan Yesus adalah bukan dalam hal kekuasaan, kedudukan, kebanggaan, tetapi menjadi semakin besar dalam hal iman, kerendahan hati, watak yang benar, hikmat, penguasaan diri, sabar, dan mengasihi semua orang tanpa terkecuali. Seorang pemimpin gereja harus memiliki jiwa seorang pelayan! Fokus pemimpin sejati adalah menghasilkan buah dan bukan membesarkan diri tetapi membesarkan orang lain.

Ciri pemimpin yang sejati yaitu terus memberi kesempatan kepada orang lain untuk hidup lebih baik, bertumbuh, berkembang, dan berbuah lebih banyak dari sebelumnya. Adanya pendelegasian tongkat kepemimpinan kepada orang lain, sehingga pada suatu saat akan menghasilkan pemimpin gereja yang baru dan berkualitas. Dia tidak pernah cemburu saat orang yang dipimpinnya dulu menjadi pribadi yang berhasil atau menjadi pemimpin kelak. Itulah yang Yesus lakukan! Tugas pemimpin sejati adalah melayani dan membesarkan orang lain untuk menjadi pemimpin yang berkarakter rohani, berintegritas, dan mau melayani.

1 komentar: