Dalam setiap gereja pasti ada sistem pemerintahannya. Pada umumnya, manfaat dari sistem ini untuk
memberikan pelayanan yang maksimal bagi jemaat. Namun sebelum kita mengerti
lebih jauh sistem ini maka terlebih dahulu harus mengerti hukum gereja atau
peraturan gereja di bawah ini. Setiap gereja memiliki hukum atau peraturannya
masing-masing. Dengan perbedaan hukum ini maka penerapan sistem pemerintahan
pada setiap aliran dan denominasi gereja sangat berbeda-beda.
A.
Pengertian Hukum
Gereja
Secara umum istilah peraturan kata dasarnya “atur” atau “aturan”. Kata “atur” berarti rapi, tertib, sedangkan “aturan” berarti
ketentuan, patokan, atau perintah. Dalam
bahasa Inggris disebut regulation
yang berarti peraturan. Jadi, peraturan adalah
tindakan untuk menjalankan segala aturan-aturan yang dibuat oleh seseorang atau sekelompok masyarakat untuk mengatur segala sesuatu menjadi tertib dan rapi.
Secara etimologi belum ada definisi yang disepakati tentang
hukum. Akan tetapi, secara umum hukum dapat
didefinisikan sebagai peraturan
atau adat resmi yang dibuat oleh penguasa; segala undang-undang, dan peraturan
yang mengatur pergaulan hidup masyarakat. Penerapannya dalam gereja dapat dikatakan bahwa hukum gereja adalah peraturan berkenaan dengan
kehidupan orang
Kristen yang berdasarkan pada ajaran Yesus Kristus.
Menurut Bolkestein (1956:4) dalam bukunya: “Asas-asas Hukum Gereja”, menjelaskan
bahwa hukum gereja adalah bagian ilmu teologi, di mana kita mencari peraturan
tentang perbuatan dan hidupnya gereja, sehingga wujud gereja sebagai tubuh
Kristus dapat dinyatakan sebaik-baiknya. Selanjutnya, Gintings (2009:10)
menambahkan bahwa di dalam hukum gereja, kasih yang menjadi penekanannya.
Secara garis besarnya hukum gereja dibuat untuk mengatur tata laku kehidupan
umat Kristen sebagai tubuh Kristus serta dalam rangka mengatur segala kegiatan gerejawi.
Hukum gereja bertujuan untuk mengatur tata cara beribadah kepada Tuhan serta melindungi kepentingan individu dan kelompok
masyarakat Kristen secara umum. Melalui
penerapan hukum gereja diharapkan agar setiap pemimpin gereja dan jemaat dapat
hidup dengan harmonis, saling mengasihi, dan menjadi berkat bagi orang lain. Hukum
gereja merupakan implementasi dari segala bentuk hukum-hukum Tuhan yang ada
dalam Alkitab.
B.
Rancangan Hukum Gereja
Kita harus sadari bahwa hukum gereja dibuat oleh
manusia yang berdosa. Pemimpin gereja dan semua orang Kristen adalah manusia
berdosa. Para perancang atau pembuat hukum gereja selalu dipenuhi oleh berbagai
keterbatasan. Tidak mengherankan jika hukum gereja mengalami perbedaan dengan
aliran dan denominasi gereja lain. Padahal hukum gereja dibuat selalu mengacu
pada ayat-ayat Alkitab. Alkitab tidak salah tetapi manusia yang salah dalam membaca
serta menginterpretasinya.
Alkitab berbeda dengan buku umum lainnya. Para penafsir Alkitab yang memaksakan pikirannya
untuk mencapai tujuan tertentu pasti bertentangan dengan kehendak Tuhan. Termasuk dalam merumuskan
hukum gereja harus ada sikap kehati-hatian. Memberikan makna
lain pada ayat-ayat Alkitab dapat menjadi bahan kontroversi bagi orang lain. Dalam hal ini penafsir harus
dipimpin oleh Allah serta mengikuti metode
penafsiran yang
telah ada. Walaupun hasil dari penafsiran ini
tidak sempurna, namun memiliki makna yang mendekati kebenaran yang
sesungguhnya.
Dalam menafsirkan teks Alkitab perlu memperhatikan
pendapat Hayes (1999:164) yang terus mengingatkan setiap orang Kristen secara
khusus para pemimpin gereja bahwa
kita harus tidak begitu saja memasukan tafsiran kita sendiri ke dalam sebuah
teks, bila demikian kita melakukan eisegese, bukan eksegese. Kata eksegesis berarti “membaca atau menggali” arti
tulisan-tulisan itu, sedangkan eisegesis berarti mencari ayat Alkitab untuk
membenarkan ide penafsir. Apabila
prinsip ini tidak dilaksanakan dengan baik maka
akan menimbulkan masalah baru dalam penerapan hukum gereja maupun
pelayanan gereja.
Semua hukum gereja dibuat demi kepentingan bersama serta tujuan yang hendak dicapai oleh setiap aliran atau denominasi gereja tersebut. Hal inilah yang membuat aliran dan denominasi gereja di Indonesia memiliki peraturan atau hukum gereja yang berbeda-beda. Perbedaan hukum gereja pasti mengalami
masalah dalam pelayanan gereja. Tidak sedikit pemimpin gereja selalu menganggap
hukum gereja yang dianutnya paling benar.
Hukum gereja sangat penting, tetapi hukum gereja yang ada pada setiap gereja saat ini biasanya warisan dari nenek moyang sebelumnya. Hukum gereja dibuat dalam waktu lama yang mengikuti tradisi dan kebudayaan pada generasi itu. Hukum gereja yang sudah lama kadang dianggap masih relevan pada generasi sekarang. Kita tidak boleh mengabaikan tata gereja atau hukum gereja yang menjadi kesapakatan bersama. Namun, bagaimanapun berinovasi dalam hal struktur itu perlu (Lie, 2010:21).
Hukum
gereja memegang peranan penting dalam melaksanakan berbagai
kegiatan gerejawi serta mengatur tata laku hidup berjemaat. Setiap hukum gereja perlu dikoreksi dan dievaluasi oleh setiap pemimpin pada aliran dan denominasi gerejanya masing-masing dalam periode tertentu. Ada hukum gereja yang perlu diteruskan, tetapi sebagiannya
perlu direvisi atau ditiadakan. Dengan demikian, hukum gereja tetap sesuai dengan kebutuhan orang Kristen pada setiap jamannya.
C.
Penerapan Hukum Gereja
Maksud penerapan hukum gereja yaitu agar kehidupan
orang Kristen teratur secara alkitabiah, baik pada saat beribadah maupun ketika
melakukan segala aktivitas di luar gereja. Keberadan orang Kristen pada saat
berada di dalam gereja harus sama bobot nilainya ketika berada di tengah-tengah
masyarakat. Hukum gereja berlaku pada setiap sendi kehidupan jemaat di mana pun
mereka berada. Penegakkan hukum gereja harus dilakukan dengan tujuan untuk
mengasihi jemaat serta menggembalakan mereka sesuai kehendak Yesus Kristus Sang
Gembala Agung.
Dimensi penerapan fungsi hukum gereja secara implisit Abineno
(2002:9) tegaskan dalam bukunya: “Garis-garis
Besar Hukum Gereja” bahwa fungsi hukum gereja itu diperlukan untuk mengatur
hubungan-hubungan lahiriah dalam gereja sebagai lembaga dan hubungan antara
gereja yang satu dengan yang lain dan juga antara gereja dan negara. Dengan
demikian, hukum gereja adalah produk yang dibuat secara bersama-sama, disepakati secara bersama-sama, dilaksanakan
secara bersama-sama. Muaranya agar setiap
pemimpin gereja
dan seluruh anggota jemaat membina hubungan yang harmonis di
dalam gereja dan masyarakat. Kehadiran gereja betul-betul membawa berita
sukacita bagi seluruh umat manusia.
Dengan adanya perbedaan hukum gereja pada masing-masing aliran dan denominasi gereja sekarang ini dapat menjadi celah atau
pemicu terjadinya perpecahan. Misalnya, peraturan tentang pelaksanaan baptisan
yang diatur oleh masing-masing gereja ternyata berbeda-beda. Ada yang setuju
dengan cara percik, sedangkan yang lain menolaknya. Ada juga yang menerima
kedua-duanya untuk menghindari konflik dalam gereja itu sendiri.
Untuk mencegah terjadinya perpecahan ini sangat
diperlukan kerendahan hati dari setiap tokoh-tokoh gerejawi dan para
teolog-duduk bersama mencari selusi atas perbedaan itu. Lebih memungkin lagi melakukan
penelitian secara mendalam dan menyeluruh terhadap setiap perbedaan yang ada tanpa harus terikat oleh aliran dan denominasinya
masing-masing. Dengan keyakinan di dalam Tuhan maka
pasti akan menemukan makna dan peraturan yang tepat sesuai dengan kebutuhan anggota jemaat saat ini.
Hukum gereja sebenarnya dapat menjadi alat untuk menciptakan kebersamaan,
kedamaian, dan kesatuan dalam gereja Tuhan.
Sebuah kerinduan yang agung jika kita dapat wujudkan
adanya hukum gereja yang oikumenis. Kendati sudah terbentuk cukup lama lembaga
oikumenis yaitu Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Seiring adanya
semangat oikumene ini justru perbedaan dan perpecahan semakin mengalami peningkatan. Dengan berat hati penulis
menegaskan bahwa bagaimana mungkin bisa mewujudkan doa Tuhan Yesus agar gereja-Nya
bersatu. Sebagian besar aliran dan denominasi gereja yang sudah ada di seluruh
Indonesia belum menjadi anggota PGI. Mereka malah membentuk persekutuan atau
wadah baru sesuai keinginannya. Fakta ini menunjukkan adanya sikap kesombongan
rohani dari beberapa organisasi gereja, sengaja memisahkan diri, dan tidak mau
bersatu dengan gereja yang berbeda dengannya.
Hukum
gereja dibuat untuk mengatur tata cara kehidupan berjemaat yang berkualitas dan
rohaniah. Bukan pula untuk membuat perbedaan,
perpecahan, dan kesombongan. Sampai saat ini tidak ada satu pun
aliran dan denominasi gereja memiliki hukum gereja yang sama. Perlu kita
merenungkan secara arif bahwa hukum
gereja yang tidak relevan dan tidak sesuai dengan Alkitab harus dibuang dari ranah pelayanan
gerejawi.
D.
Sistem Pemerintahan Gereja
Sistem pemerintahan gereja berbeda dengan sistem sekuler. Yang mutlak harus menjadi pertimbangan dalam menentukan sebuah sistem
organisasi gereja yaitu Kristokrasi dan relevansinya dalam menyatukan berbagai
aliran dan denominasi gereja. Dua hal ini tidak dapat ditawar-tawar. Kristokrasi
berarti pemerintahan Kristus atas gereja, karena Dialah Raja dan Kepala Gereja.
Relevansinya harus siap menerima setiap perbedaan.
Sistem organisasi
gereja identik juga dengan istilah sistem pemerintahan gereja (chruch government). Penggunaan istilah ini berakar dalam
sejarah serta pergumulan gereja selama ini. Sistem pemerintahan gereja sering dicampuradukan
dengan organisasi sekuler pada umumnya. Diperparah lagi adanya perbedaan yang
signifikan sistem pemerintahan gereja di antara aliran dan denominasi yang
sudah ada. Memang semakin rumit dengan adanya berbagai macam model dan bentuk sistem
organisasi gereja yang sudah berlaku selama ini.
Ada beberapa sistem
atau tata pemerintahan gereja yang kita kenal di Indonesia. Alkitab tidak
pernah memuat atau menentukan sebuah sistem pemerintahan gereja secara
sistematis. Sistem yang harus dianut oleh setiap gereja adalah Yesus adalah
pemilik gereja, pemerintah gereja, dan Kepala gereja. Hanya Kristus yang mampu
memerintah gereja secara sempurna dan adil. Kebebasan pada tiap gereja untuk
menata sistem organisasinya harus sesuai dengan pola pemerintahan Kristus
tentunya. Di luar dari aspek itu pasti mengandung motivasi pribadi yang
akhirnya sebagai sumber konflik.
Setiap gereja
memiliki struktur organisasi dalam mengatur serta mengembangkan pelayanan dalam
gerejanya masing-masing. Sangat sulit memang untuk menentukan gereja mana saja yang
menganut sistem pemerintahan gereja secara murni. Ada gereja yang mengaku
sebagai penerus dari salah satu sistem pemerintahan gereja yang sudah ada
sebelumnya. Akan tetapi, hampir semua gereja menerapkan sistem pemerintahan
campuran. Berikut ini diuraikan beberapa sistem pemerintahan gereja yang pernah
ada Indonesia.
1.
Sistem Papal
Sistem papal adalah sistem
pemerintahan yang diterapkan oleh Gereja Roma Katolik (Agama
Katolik). Istilah papal berasal dari kata papas
yang artinya bapa. Dari pengertian papas inilah kemudian dikenal dengan
istilah Paus. Dalam sistem ini pula Paus sebagai pemimpin
yang tertinggi dan berkedudukan di Vatikan Roma. Kekuasaan Paus diakui secara
definitif pada Konsili Vatikan tahun 1870 (Berkhof, 2007:37). Strukturnya berdasarkan wilayah kekuasaan
yaitu Paus di Roma, Kardinal di setiap negara, Uskup di
setiap propinsi, dan Pastor bertugas di
paroki atau gereja lokal.
Pengaruh kekuasaan
Paus pada saat itu berdampak pada setiap keputusan yang ditetapkannya dalam
gereja. Paus dianggap sebagai pengganti rasul Petrus dan wakil Kristus di dunia
ini. Paus merupakan pemimpin tertinggi yang menjadi pengantara antara manusia dengan Kristus. Pandangan mereka didasarkan pada Injil Matius 16:13-19, di mana Paus diakui sebagai
pengganti Petrus dengan alasan bahwa Petrus itu kepala rasul-rasul.
Konsekuensi dari
pemahaman ini menganggap Paus tidak dapat bersalah bila menetapkan
pengajaran. Pengajarannya berlaku mutlak dan tak dapat diubah. Dalam Keputusan Konsili Vatikan tahun 1870 menegaskan bahwa siapa yang menyangkal setiap keputusan Paus akan dikutuk. Menurut Calvin (Hall, 2009:461) tindakan ini sebagai
bentuk penghinaan atas Firman Allah ketika mereka membangun doktrin-doktrin
yang baru menurut keinginan, kepentingan, dan keuntungan gereja yang
terorganisasi secara hierarkikal.
Sistem papal berbentuk
hierarkis atau susunannya bertingkat.
Hierarkis terdiri atas dua kata yaitu hieros
berarti imam dan arhein berarti
memerintah. Di bawah Paus ada majelis Kardinal
yang berjumlah 70 orang. Sepanjang sejarah gereja Katolik sampai saat ini
jumlah Kardinal tidak pernah berubah. Ketujuh puluh orang Kardinal disebut
Majelis Kardinal yang salah satu tugasnya memilih Paus di sebuah tempat
tertutup yang disebut Conclaaf.
2. Sistem Episkopal (Episcopal)
Kata episkopal (episcopal) berasal dari bahasa Yunani episkopos yang berarti bishop atau
pastor. Istilah episkopos terdapat juga
dalam Kisah Para Rasul 20:28 yang diartikan sebagai gembala atau penilik. Sistem episkopal
adalah sistem pemerintahan gereja yang dipegang oleh Bishop yang sama dengan jabatan uskup. Sistem ini dimulai
dalam gereja Roma Katolik sebagai kritik terhadap sistem pemerintahan kepausan
atau papal sebelumnya. Menurut Bercot (1999:44) bahwa praktik pemisahan jabatan antara pastor dan bishop
terjadi sekitar abad ke-2. Latar belakang
timbulnya sistem ini ialah penolakan kekuasaan Paus di Roma yang tanpa batas di atas. Sistem ini awalnya diterapkan oleh Gereja Anglikan yang ada di Inggris.
Gereja-gereja yang menganut sistem pemerintahan
episkopal menunjukkan bahwa kedudukan bishop berbeda dengan sekelompok penilik atau penatua yang dimiliki
gereja-gereja pada abad pertama. Bishop bertugas mengawasi,
mengatur, dan memimpin orang Kristen di seluruh wilayah dan kota-kota tertentu. Seorang bishop menjadi pemimpin tunggal dan tertinggi atas
seluruh gereja lokal. Sementara gereja lokal dipimpin oleh seorang
pendeta yang dibantu oleh beberapa majelis jemaat serta bertanggung jawab
langsung kepada bishop (Majelis Sinode). Segala keputusan tertinggi ialah
keputusan persidangan sinode yang diketuai oleh seorang bishop.
3. Sistem presbiterial
(prebyterian)
Istilah presbiterial dari kata Yunani presbuteros (presbuteros) dan bahasa Ibrani disebut Zaqen yang berarti pemimpin agama Yahudi atau pemimpin jemaat. Istilah ini dalam bahasa Jawa disebut
Pinisepuh, bahasa sunda disebut Sesepuh, dan bahasa Indonesia disebut presbiter atau majelis jemaat. Sistem Presbiterial,
dimana gereja dipimpin oleh para presbiter yaitu penatua-penatua, sehingga keputusan tertinggi ada pada persidangan presbiter yang sering disebut sidang majelis jemaat.
Sistem presbiterial adalah sistem pemerintahan gereja yang dipegang oleh majelis jemaat yang
terdiri dari pendeta, penatua, dan diaken. Sehubungan dengan sistem ini Calvin (Hall, 2009:453) mengenalkan empat
jabatan yang dapat melakukan pelayanan gereja, yaitu: guru (the doctor), gembala (the pastor), penatua (the presbyter), dan diaken (the deacon). Keempat jabatan di atas bertujuan untuk melayani Tuhan.
Penerapan sistem ini
di mana setiap gereja lokal adalah independen tetapi terikat pada suatu
keputusan bersama dan strukturnya di mulai dari bawah ke atas (button up). Pendeta, penatua, dan diaken dipilih oleh anggota jemaat gereja lokal. Sistem ini dianut oleh beberapa gereja di lingkungan Protestan yang berakar sejak gerakan reformasi pada abad ke-16 di Eropa Barat. Ditinjau dari sudut pandang doktrin dan ajaran maka
sistem presbiterian merupakan perkembangan serta penerapan
ajaran dari Johanes Calvin yaitu seorang tokoh reformator dari Prancis.
Secara
kelembagaan sistem presbiterian muncul dari gereja Skotlandia yang merupakan
hasil pelayanan Jhon Knox
yaitu salah seorang murid Calvin yang paling terkenal. Oleh sebab itu, gereja presbiterian
pada umumnya berkembang dan dapat ditemukan di negara-negara bekas jajahan Inggris,
seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia baru, dan India. Selain itu, gereja
yang menganut sistem ini pun dapat juga ditemukan di beberapa negara seperti Korea, Filipina, sedangkan di Indonesia dipengaruhi oleh gereja yang
berasal dari Belanda. Mayoritas gereja protestan di Indonesia
mengikuti tradisi hervormd, yang merupakan tradisi utama protestanisme di Belanda yang awalnya dipengaruhi
oleh ajaran Johanes Calvin.
Kekuasaan tertinggi dalam sistem presbiterian berada di tangan penatua. Dalam hal ini penatua terbagi dua golongan, yaitu penatua yang
mengajar yaitu pendeta dan penatua yang memimpin organisasi. Bersama kedua golongan penatua ini merupakan majelis gereja
yang bertanggung jawab dalam menegakkan disiplin, memelihara jemaat, dan menjalankan misi gereja. Sementara diaken
bertugas untuk melaksanakan pemeliharaan gedung, keuangan gereja, pelayanan
kepada orang miskin, kedukaan, dan berbagai pelayanan sosial
lainnya.
4.
Sistem sinodal (synod)
Istilah sinode
berasal dari kata Yunani συνοδος (sunodos) yang berarti sidang atau pertemuan. Kata ini juga bersinonim dengan kata dari bahasa Latin
yaitu Concilium (konsili). Kata sunodos secara utuh tidak
terdapat di dalam Alkitab, tetapi akar katanya sunodeuo
atau sunodia dapat ditemukan dalam
Kisah Para Rasul 9:7 dan Lukas 2:44 yang berarti seperjalanan. Dapat dikatakan bahwa sinode adalah berjalan bersama,
berpikir bersama, dan memutuskan secara bersama-sama demi kepentingan bersama
pula.
Pada permulaannya, istilah sinode digunakan untuk pertemuan para uskup, namun dalam perkembangan selanjutnya dapat
dilihat pada setiap pertemuan gereja-gereja Kristen Protestan di Indonesia
maupun Kristen Ortodoks. Sistem sinodal (synod)
adalah sistem pemerintahan gereja yang berada dalam kekuasaan anggota sinode
yang anggotanya terdiri atas utusan-utusan dari setiap gereja lokal yang pada dasarnya memiliki tujuan bersama.
Dengan demikian,
sistem ini memberikan peluang kepada para pemimpin gereja dan jemaat dari gereja lokal untuk berpartisipasi
langsung dalam pengambilan keputusan dalam melaksanakan
segala keputusan dan pelayanan pada organisasi gereja lokal. Persidangan sinode merupakan instansi tertinggi yang
keputusannya harus dilaksanakan oleh gereja-gereja
lokal yang dipimpim oleh majelis jemaat yang terdiri dari pendeta, penatua, dan diaken. Biasanya majelis jemaat pada setiap gereja lokal diketuai
oleh pendeta.
5. Sistem Presbiterial Sinodal
Seiring perkembangan gereja, baik gereja yang ada di
luar negeri maupun di Indonesia telah mengalami perubahan pada sistem
pemerintahan gerejanya masing-masing. Ada beberapa gereja yang menganut dua
sistem pemerintahan sekaligus. Penggabungan
antara sistem presbiterial dengan sistem sinodal yang dikenal sebagai sistem presbiterian
sinodal. Dari dua sistem ini kita bisa langsung tahu adanya penggabungan antara
sistem presbiterial murni dan sinodal murni.
Dalam sistem presbiterial murni di mana kekuasaan
cenderung terpusat pada para majelis jemaat di gereja lokal. Sementara peran
sinode terkesan kurang mendapat tempat. Sebaliknya, pada sistem sinodal murni
pemusatan kekuasaan justru cenderung berada di tangan sinode, sehingga majelis
jemaat cenderung hanya sebagai perpanjangan tangan sinode semata. Karena
pertimbangan itulah, untuk mencapai suatu kondisi yang tidak timpang, kedua
sistem tersebut disatukan atau “dikawinkan” menjadi presbiterial sinodal untuk
mencapai tujuan yang diinginkan oleh gereja yang bersangkutan.
Penyebutan sistem presbiterial sinodal juga mempunyai
makna sendiri. Hal itu didasarkan pada kesadaran bahwa suatu kondisi yang
relatif balance antara jemaat
setempat dan sinode. Namun pusat kehidupan jemaat selalu berada di lingkup
jemaat dan bukan lagi di dalam sinode secara utuh. Dalam prakteknya,
gereja-gereja yang menganut sistem presbiterial sinodal dipimpin oleh para majelis
jemaat yaitu pendeta atau penginjil, penatua, dan diaken yang diangkat dari anggota
jemaat setempat.
Para presbiter dalam gereja lokal memimpin jemaat dalam
suatu board yang disebut majelis jemaat.
Majelis jemaat yang terdiri dari pendeta, penatua, dan diaken inilah yang
mengambil keputusan dalam setiap rapat atau sidang di gereja lokal tersebut.
Biasanya segala keputusan yang diambil merupakan keputusan secara demokrasi
yaitu dua pertiga atau 50 + 1 dari jumlah anggota sidang majelis jemaat. Sistem
ini hampir sama dengan voting dalam pengambilan keputusan di DPR-DPRD. Itulah
kepemimpin kolektif presbiterial sinodal, yang pada satu sisi mencegah
pemusatan kekuasaan pada satu orang, namun pada sisi lain proses pengambilan
keputusan sangat lama karena selalu mengadakan rapat dalam setiap masalah atau
program gereja.
6. Sistem Kongregasional (Congregational)
Sistem kongregasional (congregational)
adalah sistem pemerintahan gereja yang independen. Menurut Abineno (2002:75) bahwa sistem kongregasional merupakan paham yang dianut oleh Robert Parker berkebangsaan Inggris yang
dipengaruhi oleh sekte Anabaptis. Pertama sekali orang-orang yang menganut
paham ini memisahkan diri dari gereja Anglican dengan membentuk jemaat otonom.
Dalam sistem ini kekuasaan tertinggi terletak pada anggota
jemaat. Karena itu hak para pejabat gerejawi ini berasal dari anggota jemaat. Otoritas
pemerintahan gereja tidak terletak pada individu maupun perwakilan individu
melainkan seluruh jemaat lokal. Dua hal yang sangat ditekankan oleh sistem
pemerintahan gereja ini adalah otonomi dan demokrasi. Gereja yang menganut
sistem ini berdiri sendiri, walaupun ada ikatan dengan jemaat-jemaat lain yang seasas hanyalah berupa ikatan yang sifatnya
sukarela dan bukan struktural.
Dalam perkembangannya, sistem kongregational telah
mengalami perubahan sebagai akibat dari konversi atau penggabungan berbagai sistem
pemerintahan gereja secara modern. Berdasarkan konversi tersebut maka sistem
kongregational dibedakan dalam tiga kategori, yaitu:
a)
Kongregational murni merupakan penggabungan lini dan staf. Pada umumnya,
sistem ini diterapkan oleh gereja-gereja baptis karena menolak sistem sinodal
di mana ketua sinode sebagai pemimpin tertinggi pada tingkat nasional. Walaupun
adanya penggabungan gereja Baptis tetapi independensi (otonom) gereja lokal
tetap menjadi ciri utama yang harus dipertahankan.
b)
Kongregational sinodal merupakan penggabungan lini dan fungsional. Gereja
ini menerima sistem kepengurusan gereja pusat, namun tetap mempertahankan
otonomi masing-masing gereja lokal.
c)
Semi kongregational sinodal merupakan penggabungan sistem tipe lini, staf,
dan fungsional. Sistem ini biasanya dipakai oleh gereja-gereja yang beraliran
Pentakosta. Walaupun sistem ini mendekati sistem kongregational sinodal tetapi
tidak memakai sinode. Sistem pemerintahannya selalu diserahkan kepada pengurus
pusat dan pengurus daerah.
Dengan melihat beberapa katogori di atas, maka ciri
yang paling kental terlihat dalam sistem kongregational adalah pendeta terkesan
sebagai pemilik gereja. Pada awal terbentuknya sebuah gereja ini selalu diawali
oleh penginjilan pendeta atau penginjil. Segala kebutuhan dan kekurangan selama
membuka gereja itu menjadi tanggung jawabnya secara pribadi. Makan atau pun
tidak makan selama pelayanan menjadi resiko yang harus ditanggung oleh pendeta
atau penginjil yang bersangkutan. Sifat otonom terlihat jelas dalam setiap
keputusan yang diambil oleh gereja lokal yang dipimpin oleh seorang pendeta.
7. Sistem Caesar (Caesaropapal)
Sistem Caesar
merupakan sebuah sistem pemerintahan gereja yang berada di bawah kekuasaan
seorang raja. Model sistem ini dapat kita lihat di dalam gereja Yunani yang
Ortodoks. Dalam hal ini negara memberikan perlindungan kepada gereja, namun
negara juga mempunyai hak untuk mengatur dan mencampuri segala urusan dalam
gereja. Segala keputusan dalam gereja berada di tangan pemerintah. Orang yang
pertama sekali menerapkan sistem ini yaitu Caesar Constantinus Agung pada
permulaan abad ke-4. Perkembangan sistem ini juga sebagian gereja Anglican dan
beberapa gereja Lutheran di Norwegia menggunakannya.
Sistem ini belum
diterapkan secara mendalam di Indonesia sampai saat ini. Kendati pada jaman
penjajahan Hindia Belanda yang pernah datang ke Indonesia terkesan sistem ini
terasa ada kesamaannya, namun tidak berlangsung lama. Oleh sebab itu, kita
harus yakin dan berdoa agar penerapan sistem ini mudah-mudahan tidak akan
pernah terjadi di Indonesia. Keyakinan ini dapat terwujud jika seluruh gereja dari
berbagai aliran dan denominasi tetap bersatu.
8. Sistem Collegial
Sistem Collegial
merupakan sistem gereja yang didasarkan pada hubungan pertemanan. Istilah collega sendiri dapat berarti teman atau
persekutuan. Segala kekuasaan terletak di tangan anggota gereja yang memilih
pengurusnya, sehingga segala keputusan ditetapkan dengan suara terbanyak dan
demokrasi tentunya. Walaupun keputusan yang dihasilkan bertentangan dengan
kehendak Kristus, tetapi harus dilaksanakan oleh semua anggotanya. Dasar
keputusan yang diambil biasanya lebih bersifat sekuler dan bukan alkitabiah.
Dari uraian di atas
menunjukkan bahwa setiap aliran dan denominasi gereja memiliki sistem gereja
yang berbeda-beda. Kedua sistem terakhir yaitu sistem Caesaropapal dan sistem Collegial
merupakan tambahan yang diberikan oleh J.A.C. Rullmann (1953:31-32) dalam
bukunya yang berjudul Peraturan Gereja.
Sistem ini terbentuk berdasarkan sudut pandang pemimpin ataupun jemaat
tersebut. Apabila ditelusuri lebih jauh lagi maka semua sistem di atas belum
diterapkan secara sempurna sesuai dengan kaidah dan nilai dari setiap sistem
tersebut.
Sistem pemerintahan
dalam sebuah gereja sangatlah penting. Menurut Calvin (Hall, 2009:452) sistem pemerintahan gereja adalah ketetapan Allah
bagi pendirian dan kelanjutan gereja. Barangsiapa mengabaikannya sebagai tidak
perlu, sedang berusaha keras untuk membongkar, atau, meruntuhkan dan
menghancurkan gereja. Penegasan Calvin
atas konsep ini bertujuan untuk menciptakan keteraturan dalam sebuah organisasi
gereja. Kendati demikian, sebaik apapun sistem pemerintahan gereja tentu tidak
bisa disamakan atau bahkan melebihi isi Alkitab. Kemungkinan besar setiap
sistem ini dalam penerapannya akan bertentangan dengan kehendak Allah.
Sistem pemerintahan
gereja dirancang dan ditetapkan oleh oleh gereja untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Mengigat banyaknya sistem gereja yang berbeda-beda, maka sangat
sulit untuk menentukan manakah dari antara sistem ini yang Alkitabiah. Tidak ada satu pun organisasi gereja yang
menggunakan secara murni dari salah satu sistem pemerintahan ini. yang ada. Apakah melalui
sistem ini akan mempermuliakan Yesus Kristus sebagai pemilik Gereja? Jawabannya
terletak pada motif dan kepentingan setiap pemimpin gereja yang menerapkan
sistem tersebut.
Dalam prakteknya setiap pemimpin gereja berusaha menggabungkan dua bentuk
variasi dari setiap sistem yang ada.
Faktor inilah yang menyulitkan kita untuk mengidentifikasi secara spesifik
sistem apa yang diterapkan oleh suatu aliran dan denominasi gereja yang sudah ada di Indonesia. Bahkan secara mengejutkan terdapat beberapa gereja
yang menggunakan lebih dari dua sistem sekaligus untuk memuluskan segala
rencana pemerintahannya dalam gereja tersebut.
Dengan kerendahan hati perlu kita mengakui bahwa semua sistem pemerintahan gereja selama ini merupakan
sebuah pilihan
yang sulit. Sistem
ini biasanya
ditentukan oleh pengalaman historis sebuah gereja. Pemilihan sistem ini berkaitan dengan konteks kesejarahan dan pengalaman
gereja itu sebelumnya.
Semua sistem ini baik bagi gereja yang memilihnya sepanjang
tidak bertentangan dengan Alkitab. Jika bertentangan dengan Alkitab maka diperlukan
revisi.
Memang tidak ada satu pun sistem gereja yang sempurna. Semua sistem
organisasi gereja dibuat oleh tangan manusia yang berdosa, memiliki
keterbatasan, keegoisan, dan kepentingannya masing-masing. Setiap sistem pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Yang penting untuk dicermati bahwa bagaimana konsekuensi dari penggunaan sistem itu dalam
kehidupan bergereja. Jujur atau tidaknya kita bahwa dengan adanya perbedaan
sistem pemerintahan gereja sebenarnya menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya
perpecahan gereja hingga saat ini.
Tolong bukunya dikirim ke Perpusatakaan Sekolah Tinggi Guru Huria (STGH) HKBP, Seminarium Sipoholon, Tapanuli Utara, SUMUT 22452. Thanks a lot
BalasHapussalam sejahtera...
Hapusanda bisa langsung menghubungi penulis ...
0813 3866 5028
terima kasih
Mantap....
BalasHapus