Gereja Pecah

Gereja Pecah

Minggu, 30 Agustus 2015

BAB VII DOKTRIN DALAM GEREJA

A.    Sejarah Doktrin Gereja
Bila kita melihat kembali sejarah perjalanan gereja ternyata telah membuktikan dirinya terbagi-bagi dalam beberapa aliran gereja. Suatu kesulitan untuk menentukan mana yang lebih awal antara doktrin gereja dengan aliran gereja. Jika doktrin lebih awal daripada aliran gereja, maka klaim yang sama pun bisa berlaku sebaliknya. Munculnya suatu doktrin maupun aliran tentu hanya pemimpin gereja itulah yang mengetahuinya secara pasti.
Kehadiran doktrin pada sebuah gereja bisa saja muncul setelah adanya aliran gereja tersebut. Mungkin juga doktrin gereja dirancang lebih dahulu oleh seseorang atau sekelompok orang yang kemudian keluar dari gereja induknya dan membentuk aliran atau denominasi gereja yang baru. Salah satu contoh reformasi yang dilakukan oleh Marthin Luther dalam Gereja Katolik Roma (GKR). Doktrin yang dipahami dijadikan sebagai landasan berpikir untuk mengadakan reformasi. Ketika doktrin ini tidak diterima oleh GKR maka jalan yang ditempuh keluar dari gereja itu lalu membentuk aliran gereja Lutheran.
Reformasi Luther terhadap GKR pada awalnya tidak bertujuan mendirikan aliran Lutheran. Dia mengeluarkan 95 pokok ajaran dengan harapan agar pengajaran dalam GKR kembali sesuai Firman Allah. Pembaharuan yang dilakukannya tentu tidak mendapat respon positif di dalam gereja pada waktu itu. Pada akhirnya dia dikeluarkan dari gereja yang secara otomatis doktrin yang dirumuskannya terus diterapkan dalam gereja yang dikenal aliran Lutheran atau agama Kristen saat ini.  
Doktrin adalah ajaran tentang asas suatu aliran dalam agama Kristen. Pada hakekatnya, doktrin gereja menekankan pada dasar-dasar pokok ajaran Kristen yang dikembangkan oleh para pemimpin dalam setiap aliran dan denominasi gereja tersebut. Setiap pokok ajaran yang mereka rumuskan diyakini akan kebenarannya. Dengan adanya doktrin ini maka setiap gereja memiliki identitasnya tersendiri serta pedoman dalam melaksanakan pelayanan gerejawi.
Perkembangan doktrin dari setiap aliran dan denominasi gereja di seluruh dunia telah membuat perubahan yang sangat signifikan dalam pelaksanaan berbagai kegiatan pelayanan gerejawi. Setiap gereja merumuskan doktrin sesuai dengan cara pandang dan teologianya masing-masing. Perbedaan-perbedaan doktrin ini telah banyak menghabiskan energi dan perhatian banyak orang untuk mempertahankan keeksistensinya masing-masing. Jika kita tidak sikap dengan hati yang berpaut kepada Allah, maka doktrin gereja akan terus bertambah dan berkembang pada masa yang akan datang.
Melalui perbedaan doktrin dipastikan terbuka kesempatan terjadinya perdebatan yang hebat pada kalangan orang Kristen itu sendiri. Perdebatan semacam ini dapat diperkirakan tidak akan pernah selesai sampai Tuhan Yesus datang kembali. Perdebatan ini pula semakin hari semakin tinggi intensitasnya, sehingga perpecahan dalam gereja pun semakin nyata jelas. Ketika perpecahan gereja terjadi maka tugas utama orang Kristen untuk memberitakan Injil tidak dapat terpenuhi dengan baik sebagaimana yang Tuhan Yesus harapkan.
Kendati adanya perkembangan dari perbedaan aliran dan denominasi gereja, tetapi sebagian pemimpin gereja tetap mempertahankan doktrin yang dianut sebelumnya. Misalnya Teologi Reformed (Reformed Theology) yang tetap konsisten dan eksis pada setiap jamannya. Salah satu tokoh penting dalam Teologi Reformed abad ke-20 adalah Prof. Dr. Louis Berkhof. Beberapa doktrin pokok yang dijabarkannya untuk membantu pelayanan gereja, yaitu: Doktrin Allah, Doktrin Manusia, Doktrin Kristus, Doktrin Keselamatan, Doktrin Gereja, dan Doktrin Akhir Zaman. Dari keenam doktrin ini masih dibagi dalam beberapa tema sentral lainnya. Dalam kajian ini tidak semua topik ini diuraikan, tetapi hanya doktrin keselamatan dan doktrin baptisan yang akan dijelaskan. Kedua doktrin ini menjadi bahan perdebatan yang masih hangat diperdebatkan hingga hari ini.
B.    Doktrin Keselamatan
Sejarah membuktikan bahwa perpecahan gereja pada awalnya dimulai dari GKR yang berpusat di Roma, Italia. Pemicu utamanya yaitu dalam konsili Chalcedon pada tahun 451 oleh Gereja Katolik Barat di Roma memberlakukan resolusi, sehingga tidak dapat diterima oleh Gereja Katolik Timur (Gereja Ortodoks Timur) di Konstantinopel. Perpecahan gereja ini pun puncaknya terjadi pada tahun 1054. Dalam analisa Keene (2006:96) dalam bukunya yang berjudul Agama-agama Dunia menyatakan bahwa sedikitnya ada tiga pokok yang menjadi alasan perpecahan gereja pada saat itu:
1)   Pernyataan Paus di Roma bahwa ia memiliki kekuasaan tertinggi atas seluruh gereja. 
2)   Keinginan Roma untuk menjadi pemimpin yang diakui Gereja di seluruh dunia. 
3)   Perubahan yang dilakukan Roma atas bunyi kredo, yang dianggap tak dapat diganggu gugat oleh umat Kristen Timur.
Dari point di atas kita melihat alasan utama terjadinya perpecahan antara GKR dengan Gereja Katolik Ortodoks Timur. Kendati perpecahan awal ini tidak begitu fatal, namun pada saat Marthin Luther seorang imam dari GKR sekaligus sebagai guru besar pada bidang studi teologi di Universitas Wittenberg Jerman mengadakan pembaharuan dalam gereja tersebut. Pembaharuan yang dilakukannya justru menjadi awal terjadinya perpecahan besar dalam gereja sampai saat ini. Pembaharuan ini digemakan pada tanggal 31 Oktober 1517 dengan mengeluarkan 95 keluhan (ajaran) sehubungan kebijakan Paus Leo X yang telah menyimpang dari kebenaran Allah. Peristiwa pembaharuan inilah diperingati oleh gereja Protestan sebagai hari reformasi sampai sekarang.
Di antara seluruh keluhan Luther di atas, salah satu yang paling disoroti yaitu penjualan surat penghapusan siksa (aflat) atau sering disebut surat indulgensia (penghapus dosa). Semakin banyak seseorang membeli surat ini maka keselamatan akan diperolehnya dengan cuma-cuma. Doktrin keselamatan inilah yang mengusik hati Luther, sebab di dalam Alkitab secara jelas menegaskan bahwa keselamatan adalah anugerah Allah bagi setiap manusia yang berdosa. Tidak ada keselamatan yang diperoleh manusia melalui usahanya sendiri. Keselamatan bukan hasil kebaikan manusia, melainkan pemberian Allah bagi setiap orang yang berkenan kepada-Nya melalui keyakian pada pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib.
Pengkhotbah indulgensia yang terkenal pada saat itu adalah Yohanes Tetzel yang terus meneriakan, “pada saat uang anda bergemerincing dalam peti, seketika itu juga jiwamu melompat dari api penyucian ke sorga” (Lane, 2005:131). Bentuk uang yang berlaku pada jaman itu berupa uang logam dan tidak seperti yang kita kenal saat ini. Praktek money politic dan korupsi sudah terjadi dalam gereja, termasuk praktek jual-beli jabatan gerejawi. Faktor-faktor inilah yang membuat kemarahan jemaat, sehingga memberi peluang besar kepada Luther untuk mencetuskan reformasi ini.
Secara jujur tujuan utama penjualan surat aflat adalah untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan gedung gereja raksasa yang kita kenal saat ini Gereja Santo Petrus di Roma. Hal ini ditegaskan oleh Aritonang (2000:29) bahwa untuk merealisasikan tujuan tersebut maka Paus menyelewengkan kekuasaan yang dimilikinya dengan membungkusnya dengan bahasa rohani yang berisi janji palsu sekaligus ancaman. Dalam logika berpikir sederhana bahwa sebanyak apa pun surat aflat yang didapatkan oleh seseorang pasti tidak akan pernah memperoleh keselamatan dari uang atau surat tersebut.
Perkembangan doktrin keselamatan ini pun terus berlanjut dalam gereja-gereja Protestan di dunia termasuk Indonesia. Memang konsep dan metodenya berbeda dari GKR sebelumnya. Bukan lagi konsep penjualan surat aflat melainkan dengan metode lain seperti: “percaya Yesus pasti selamat”, “menjadi orang Kristen pasti selamat”, “berbuat baik pasti selamat”, “memberi persembahan yang banyak pasti selamat”, “dibaptis dengan cara tertentu pasti selamat”, “masuk gereja tertentu pasti selamat”, “menerima mujizat pasti selamat”, dan sebagainya. Doktrin keselamatan seperti ini akan menjadi sesat dan rapuh jika hanya dipahami pada tataran konsep dangkal ini.
Doktrin keselamatan yang benar hanya bermuara pada anugerah Allah di dalam Yesus Kristus. Anugerah keselamatan di dalam Yesus Kristus memiliki makna yang sangat mendalam yaitu tanpa usaha manusia sedikitpun. Orang yang telah menerima keselamatan dari Allah akan hidup dalam iman yang benar yang dikerjakan oleh kuasa Roh Kudus. Setiap orang yang sudah menerima keselamatan pasti akan selalu mengucap syukur melalui perbuatan-perbuatan iman pada setiap tingkah lakunya di hadapan Allah dan manusia. Sementara orang yang hanya mengaku dirinya sudah selamat, tetapi terus hidup di dalam dosa sesungguhnya dia menjadi pribadi yang murtad kepada Allah.
Dengan adanya berbagai macam kepentingan pada setiap pemimpin gereja, maka dapat dipastikan perbedaan doktrin keselamatan pada setiap aliran dan denominasi gereja akan semakin terasa. Dari perbedaan inilah akan timbul berbagai macam persoalan dalam pelayanan gerejawi. Akibatnya, perpecahan gereja karena perbedaan doktrin ini pun tidak terelakkan. Pemahaman yang salah tentang doktrin keselamatan bukan hanya terjadi pada masa Luther saja, tetapi doktrin ini pun telah merasuki gereja-gereja yang ada di Indonesia saat ini. Pemahaman keselamatan yang berbeda menunjukkan gereja sudah pecah karena sumber keselamatan hanya satu yaitu Yesus Kristus.
C.    Doktrin Baptisan
Doktrin baptisan merupakan objek perdebatan yang belum berakhir sampai hari ini. Kemungkinan perdebatan seputar masalah ini pun masih terus ada sampai Tuhan Yesus datang kembali. Beberapa aliran dan denominasi gereja terus mempertahankan dan mengklaim baptisan yang paling benar dan alkitabiah seperti yang dilakukan di gerejanya. Sebagian lagi mengikuti cara Yohanes Pembaptis pada saat membaptis Tuhan Yesus di sungai Yordan yaitu secara selam. Lebih kaget lagi adanya gereja yang menekankan pada pelaksanaan baptisan selam secara berulang-ulang dan baptisan yang dilakukan secara langsung oleh Roh Kudus.
Kita harus jujur mengakui bahwa salah satu faktor perpecahan dalam agama Kristen yaitu masalah doktrin baptisan. Fakta yang ditemukan oleh Keene (2006:97) dalam penelitiaannya menyatakan bahwa gereja yang ada di Inggris mulai terpecah-pecah dengan tidak menerima ajaran gereja reformasi yaitu gereja yang berasal dari Inggris itu sendiri. Salah satu penganut paham ini adalah Gereja Baptis yang mempercayai dan menegaskan bahwa lebih baik membaptis orang setelah dewasa daripada membaptis seorang anak yang masih kecil.
Kita tidak heran jika perbedaan, perdebatan, dan perpecahan gereja yang terjadi di Indonesia selama ini disebabkan oleh pembenaran dan pemahaman doktrin baptisan yang berbeda-beda tersebut. Berikut ini dipaparkan tentang metode atau cara baptisan yang biasa dilakukan oleh beberapa gereja selama ini.
1.    Baptisan Percik
Pemahaman Marthin Luther tentang baptisan pada dasarnya setara dengan sunat dalam Perjanjian Lama yaitu sebagai tanda perjanjian Allah dengan umat-Nya yang juga berlaku bagi anak-anak. Gereja Anabaptis tidak menerima alasan ini sehingga melaksanakan baptisan dewasa dan baptisan ulang. Melihat gejala ini membuat Luther menulis surat dengan menyebut mereka sebagai “orang-orang munafik dan pendeta-pendeta gelap” (Aritonang, 2000:35).
Walupun pandangan Luther ini secara tidak langsung menyakitkan perasaan Anabaptis, namun mereka tetap memiliki pedoman yang kuat dan terus melaksanakan baptisan dewasa dan baptisan ulang. Orang yang sudah dewasalah yang memenuhi syarat serta mampu mempertanggung jawabkan keyakinan imannya kepada Allah. Setiap orang yang sudah dibaptis waktu masih anak-anak dalam Gereja Katolik Roma dan setelah reformasi Luther harus dibaptis ulang, sebab baptisan anak-anak itu tidak sah (Aritonang, 2000:45).
Perbedaan cara pembaptisan di atas menunjukkan bahwa aliran ini merumuskan doktrin baru. Padahal gereja pada awalnya telah melaksanakan pembaptisan anak-anak dan orang dewasa yang baru percaya kepada Yesus Kristus dengan cara percik. Fakta ini pun kembali ditegaskan oleh Keene (2006:108) dengan menyatakan:
Pelayanan pembaptisan bayi di Gereja Katolik dan Anglikan memberikan ciri khas yang penting. Perayaan itu, yang dipimpin oleh seorang imam, diselenggarakan di sekitar wadah air suci di mana anak dihadirkan oleh orang tua dan wali baptis untuk dibaptis. Mereka berjanji akan mengajar anak itu untuk melawan roh jahat, mengikuti ajaran Yesus, dan mengantarkan anak itu dalam keluarga Allah, Gereja. Imam memerciki bayi itu dengan air baptis sebanyak tiga kali dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, sebelum membuat tanda salib di dahinya.
Dasar pelaksanaan baptisan adalah perintah Tuhan Yesus yang dicatat oleh rasul Matius: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28: 19-20). Perintah ini harus dilakukan oleh setiap orang Kristen di segala tempat dan jamannya.
Dalam prakteknya ternyata masih banyak gereja yang memiliki perbedaan dalam menafsirkan tugas agung tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Rayburn (2005:5) dalam bukunya yang berjudul Apa Itu Baptisan? menegaskan bahwa tidak ada doktrin dalam Alkitab yang sedemikian banyak perbedaannya, atau yang sedemikian disalah mengerti di dalam gereja Kristen, selain doktrin baptisan air. Perbedaan doktrin ini semakin jelas terlihat dalam penerapannya pada setiap gereja saat ini.
Setiap aliran dan denominasi gereja berusaha dengan segala daya upaya untuk membenarkan caranya dalam melaksanakan baptisan. Apakah cara yang kita lakukan selama ini sudah sesuai dengan Alkitab? Untuk diketahui bahwa munculnya perbedaan ini karena faktor penerjemahan bahasa Yunani tentang baptisan yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan kepada diri Yesus. Oleh sebab itu, peranan bahasa sangat penting untuk memecahkan persoalan baptisan ini.
Dalam karya Derrida, Foucault, dan Lacan (Barker, 2006:91) merepresentasikan pengaruh teori bahasa dengan mengatakan bahasa bukan kehadiran metafisika melainkan suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk mengoordinasikan tindakan mereka dalam konteks hubungan sosial. Bahasa adalah tindakan dan petunjuk bagi tindakan. Bahasa dalam konteks pemakaian secara sosial, secara temporer dapat distabilkan untuk tujuan praktis. Jadi, fungsi bahasa dalam menafsirkan Alkitab sangat penting untuk memperoleh makna tertentu.
Istilah baptisan dalam Perjanjian Lama memakai kata “baptein” yang berarti mencelupkan kakinya ke dalam air (Yosua 3:15), mencelupkan jari ke dalam darah itu (Imamat 4:6,17), dimasukkan ke dalam air (Imamat 11:32), dan Naaman membenamkan diri ke sungai Yordan (2 Raja-raja 5:14). Dalam tradisi ini, adat dan budaya pembasuhan menunjukkan ritual penyucian atau pengudusan seseorang. Sementara Perjanjian Baru memakai kata bapto yang artinya mencelupkan di dalam atau mencelupkan bahan-bahan untuk memberi warna baru. Istilah lainnya ‘baptizo’ yang berarti membenamkan, mandi, atau mencuci. Kata baptisan dalam hal ini memberi pengertian ganda.  
Kebanyakan gereja yang hanya mengakui baptisan selam mengatakan bahwa baptisan yang diterima oleh Tuhan Yesus di sungai Yordan adalah baptisan selam. Pernyataan mereka ini didasarkan pada cara Yohanes Pembaptis pada saat membaptis Tuhan Yesus. Dalam Matius 3:16 berkata: “Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air”. Kata “keluar dari air” belum tentu menunjukkan baptisan selam, tetapi kata ini bisa juga keluar dari “area” air atau keluar dari lokasi sungai Yordan itu. Secara harafiah Tuhan Yesus keluar dari area air tersebut.
Apabila peristiwa pembaptisan Tuhan Yesus dikaji dalam tata bahasa Yunani maka euqus anebh apo tou udaqos “ berarti “keluar dari air”; kata εθς berarti segera, lalu, sedangkan kata νβη=anabainw yang berarti naik, pergi atau keluar. Ketika Yesus selesai dibaptis, Dia segera keluar meninggalkan area sungai Yordan. Adanya perbedaan penafsiran terhadap kata ini sehingga menimbulkan perbedaan juga pada pelaksanaan baptisan baik secara percik ataupun baptisan secara selam.
Dalam tulisan Bagiyowinadi (2011:34) seorang pengajar di gereja Katolik keuskupan Malang menyatakan bahwa Tuhan Yesus “keluar dari air” tidak selalu berarti seluruh tubuh dibenamkan. Pembaptisan dengan pembenaman seluruh tubuh bukanlah satu-satunya cara yang sah untuk pembaptisan. Dia memberi contoh tentang pembaptisan yang dilakukan oleh Filipus terhadap sida-sida dari Etiopia di jalan padang gurun yang tentunya tidak mudah menemukan air untuk membaptis dengan cara selam.
Fakta sejarah lain diungkapkan oleh Scheunemann (1986:35) pada kesimpulan bukunya menegaskan:
Kita memiliki sebuah pahatan batu, yang ditemukan dalam katakombe, yaitu tempat persembunyian orang-orang Kristen di Roma terhadap penganiayaan negara. Relief tersebut berasal dari permulaan abad II AD. Dari relief itu terdapat baptisan Tuhan Yesus oleh Yohanes Pembaptis dengan cara Yohanes menuangkan air ke atas kepala Kristus ... Namun dengan majunya gereja ke bagian utara, ke daerah dingin, gereja melazimkan baptisan percik, agar tidak membahayakan kesehatan anak.
Dari kedua pendapat di atas menegaskan bahwa Yohanes Pembaptis menuangkan air di kepala Tuhan Yesus. Bisa juga dikatakan baptisan yang dilakukan pada saat itu adalah baptisan percik. Hal senada diungkapkan oleh Stephen Tong (Rayburn, 2005:1) yang menyatakan bahwa banyak gereja yang menjalankan baptisan percik di sepanjang sejarah gereja. Dasar pemahaman inilah yang sebagian besar aliran dan denominasi gereja tertentu melaksanakan sakramen baptisan kudus secara percik sampai saat ini.
Elemen pembaptisan bukanlah mengarah pada banyaknya air, tetapi yang paling penting adalah baptisan harus didasarkan dalam nama Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus (Allah Tritunggal). Baptisan yang benar harus menggunakan media air sebagai simbol pembersihan yang menunjuk pada penyucian dan persekutuan di dalam Yesus Kristus.
Istilah baptisan telah dikenal pada masa Perjanjian Lama. Rasul Paulus menjelaskan dengan berkata: “Aku mau, supaya kamu mengetahui, saudara-saudara, bahwa nenek moyang kita semua berada di bawah perlindungan awan dan bahwa mereka semua telah melintasi laut. Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut” (1 Korintus 10:1-2). Kalimat yang menyatakan “mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut”, tidak berarti setiap orang yang mengikuti nabi Musa harus ditenggelamkan dalam awan dan air laut. Istilah ini menunjukkan Israel sebagai umat pilihan yang dipelihara, dilindungi, dan hidup dalam persekutuan dengan Allah.
Dalam hal ini Baan (2009:179) mendefenisikan makna materai dan tanda baptisan ini dengan mengutip Pengakuan Iman Gereja Belanda yang menyatakan:
Kristus telah menetapkan baptisan lahiriah ini serta berjanji bahwa saya sungguh-sungguh dicuci dengan darah dan Roh-Nya dari kecemaran jiwa, yaitu segala dosa saya. Hal itu sama pasti bila badan saya dicuci dengan air yang menghilangkan kecemaran badan. Sama seperti air membasuh kotoran tubuh waktu kita disiram air itu, yaitu air yang kelihatan pada tubuh orang yang dibaptis dan yang memercik dia, begitu juga darah Kristus melakukan hal yang sama secara batin, di dalam jiwa, oleh Roh Kudus, dengan memerciki jiwa dan membersihkannya dari dosa dan dengan melahirkan kita kembali, sehingga dari anak-anak murka menjadi anak-anak Allah (Pasal 34).

Banyak atau sedikitnya air pada saat baptisan tidak mempengaruhi maknanya. Baptisan bukan cara untuk memperoleh keselamatan, tetapi menjadi meterai persekutuan di dalam Kristus. Jika anak-anak dari orang percaya meninggal pun sebelum menerima baptisan air, maka pasti mereka tetap merupakan bagian dari anugerah dan perjanjian Allah. Oleh sebab itu, Godfrey (2009:433) menegaskan bahwa baptisan hanya diperkenankan satu kali bagi setiap pribadi orang Kristen.
Dalam hal ini Calvin (Godfrey, 2009:430) menjelaskan bahwa ada tiga janji yang terkandung dalam baptisan, yaitu:
1.   Baptisan adalah penyucian atau pengampunan dosa. Baptisan meyakinkan orang Kristen bahwa janji pengampunan yang diberikan dalam Injil adalah benar dan dapat dipercaya.
2.   Baptisan adalah mematikan daging dan pembaharuan. Allah yang berjanji untuk membenarkan umat-Nya juga berjanji dalam baptisan untuk menguduskan mereka secara progresif baik dalam mematikan kehidupan daging maupun dalam memperhatikan kehidupan oleh Roh.
3.   Baptisan adalah bahwa kita “disatukan dengan Kristus sendiri sehingga kita menjadi pengambil bagian dalam semua berkat-Nya”. Baptisan adalah “ikatan persatuan dan persekutuan yang paling utuh di mana Ia telah berkenan untuk membentuk kita.
Cara pelaksanaan baptisan percik tentu tidak selamanya direspon secara baik oleh aliran dan denominasi gereja yang hanya mengakui baptisan selam, baptisan selam yang diulang, dan baptisan Roh Kudus. Mereka tetap berkeyakinan bahwa baptisan yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis pada orang banyak dan kepada Tuhan Yesus pada waktu itu adalah baptisan selam secara dewasa. Dengan demikian, apapun bentuk dan cara baptisan yang dilakukan tidak menjadikan dasar atau jaminan bagi seseorang untuk selamat dari murka Allah kelak.
2.    Baptisan Selam
Beberapa aliran dan denominasi gereja yang menganut baptisan selam juga memiliki alasan yang kuat. Salah satu alasannya diuraikan oleh Tabor (2007:154-167) dalam bukunya yang berjudul Dinasti Yesus menyatakan sebelum membaptis Tuhan Yesus, Yohanes Pembaptis telah membaptis orang Yahudi pada saat itu yang hidupnya saleh sehingga ditandai oleh penenggelaman atau baptisan di dalam air yaitu baptisan selam yang juga diterima oleh keluarga-Nya. Jadi, Yusuf dan Maria telah menerima baptisan selam.
Argumentasi lainnya dengan mengacu pada etimologi kata baptisan yang berarti menenggelamkan. Namun Rayburn (2005:22) membantah argumentasi itu dengan berkata bahwa tidak ada ahli yang menolak bahwa arti utama dari kata baptiso adalah “menenggelamkan”. Marilah kita hanya melihat kepada Alkitab, karena seperti yang telah kita katakan sebelumnya, keputusan kita yang terakhir harus berasal dari Alkitab. Pernyataan Rayburn tersebut menegaskan bahwa patokan hidup orang Kristen serta segala kegiatan gerejawi termasuk pelaksanaan baptisan harus bersumber pada Alkitab. Segala hal yang bertentangan dengan Alkitab bukanlah sebuah pelayanan gerejawi.
Perbedaan cara antara baptisan percik dan selam telah menimbulkan banyak polemik dalam kehidupan orang Kristen. Gereja yang menolak baptisan percik sering mengacu pada arti kata menyelamkan” serta baptisan Tuhan Yesus di sungai Yordan dianggap secara selam.  Semua aliran dan denominasi gereja yang tidak melaksanakan baptisan selam dianggap tidak mengikuti cara Tuhan Yesus dibaptis, sehingga baptisan itu tidak sah karena tidak sesuai dengan Alkitab.
Gereja yang melaksanakan baptisan selam merupakan bagian dari gereja yang melaksanakan baptisan percik. Akibat perbedaan ideologi serta pemahaman teologis yang berbeda-beda pada akhirnya menjadi sumber perpecahan. Mereka merumuskan doktrin-doktrin baru dalam gereja sesuai dengan sudut pandang pemimpinnya masing-masing. Kehadiran aliran dan denominasi gereja baru pertanda telah terjadi perpecahan dalam agama Kristen, sebagai akibat tidak menerima gereja yang sudah ada sebelumnya.
Biasanya baptisan selam dilakukan di kolam, sungai, danau, dan air laut. Ada gereja yang sengaja membuat kolam baptisan dengan ukuran besar dan kecil di lingkungan gedung gerejanya. Ada yang membuat kolam baptisan di bawah mimbar gereja, sehingga terkesan pelayanan baptisan yang dilakukan saat itu ritual yang alkitabiah. Baptisan selam dapat dilaksanakan pada setiap hari yang disaksikan oleh seluruh jemaat. Pada prinsipnya penulis tidak menyalahkan ataupun membenarkan salah satu cara pembaptisan baik percik atau selam, tetapi hanya memberikan beberapa argumentasi logis serta fakta-fakta sejarah sehubungan pelaksanaan baptisan tersebut.
Selain itu, ada pula aliran dan denominasi gereja yang memahami baptisan yang sah apabila dilakukan secara berulang-ulang dengan cara selam. Alasan mereka melaksanakan baptisan ulang ini, antara lain:
a)    Seorang Kristen yang berasal dari aliran atau denominasi lain dan telah menerima baptisan percik. Ketika dia pindah atau sengaja dipaksa pindah menjadi anggota dari gereja ini maka harus menerima baptisan selam.    
b)   Seorang Kristen yang berasal dari aliran atau denominasi lain dan telah menerima baptisan selam. Ketika dia pindah atau sengaja dipaksa pindah untuk menjadi anggota gereja ini, maka harus dibaptis lagi secara selam. 
c)    Seorang Kristen yang telah menerima baptisan selam tetapi ketika pergi berjiarah ke Yerusalem meminta untuk dibaptis kembali secara selam di Sungai Yordan.
d)   Seorang Kristen yang telah melakukan dosa dalam aliran atau denominasi gereja tersebut, maka diwajibkan untuk menjalani baptisan ulang secara selam. Baptisan ini bertujuan untuk membersihkan dosa-dosanya sehingga dianggap telah memperoleh hidup baru.
Dalam logika berpikir sederhana menegaskan baptisan yang sah jika dilakukan secara selam pada saat seseorang sudah dewasa. Sebagian orang Kristen berkeinginan dibaptis secara selam di sungai Yordan tempat Tuhan Yesus dibaptis. Baptisan yang dilakukan di kolam, sungai, danau, dan laut di Indonesia kurang memuaskan. Apapun argumentasi seputar pelaksanaan baptisan ini menjadi tanggung jawabnya di hadapan Allah.
3.    Baptisan Roh Kudus
Ada beberapa aliran dan denominasi gereja yang menekankan pada pelaksanaan baptisan Roh Kudus sebagai simbol kelahiran baru. Gereja yang menganut paham ini beranggapan bahwa baptisan Roh Kudus adalah baptisan yang dilakukan oleh Allah melalui kuasa Roh Kudus dan Firman-Nya pada setiap pribadi orang Kristen. Orang yang sudah dibaptis secara selam harus mengalami baptisan Roh Kudus secara pribadi. Bukti seseorang telah menerima baptisan Roh Kudus dapat dilihat melalui etika kehidupannya. Baptisan Roh Kudus adalah baptisan yang datang dari Allah tanpa diketahui oleh manusia kecuali orang yang mengalaminya secara langsung.
Pemahaman baptisan Roh Kudus sepertinya terus menjadi polemik sepanjang sejarah perjalanan gereja. Perbedaan ini mulai dari penafsiran baptisan Roh Kudus itu sendiri sampai pada proses penerimaan seseorang akan baptisan tersebut. Memang sulit dibuktikan kapan seseorang menerima baptisan Roh Kudus. Apapun bentuk baptisan yang diterima seseorang tidak menjamin karakter dan pola hidupnya berkenan kepada Allah. Yang menjadi tugas utama kita adalah bagaimana seseorang dapat memberi makna baptisannya itu dalam lingkup pelayanan serta melaksanakan pemberitaan Injil kepada semua orang.
D.    Ideologi Baptisan
Penyebab utama perpecahan dalam agama Kristen di seluruh dunia dan Indonesia karena pemimpinnya selalu menonjolkan perbedaan doktrin yang dianut oleh gerejanya masing-masing. Hal ini ditegaskan oleh Halim (2000:81) dalam bukunya yang berjudul Gereja di Tengah-tengah Perubahan Dunia yang menyatakan: Perpecahan adalah hasil dari konflik antar jemaat yang masing-masing berpegang pada ajaran yang ada, atau pun ajaran yang baru yang ditentang oleh jemaat. Teologi baru adalah suatu alat yang paling ampuh untuk menciptakan separatisme dalam jemaat.
Ketika sebuah doktrin tetap dipertahankan, sebenarnya ada ideologi yang sudah lama tertanam di dalam diri pemimpin ataupun organisasi gereja tersebut. Ideologi yang dianut dianggap sebagai suatu kebenaran yang mutlak, sehingga secara otomatis menganggap bahwa gerejanyalah yang paling benar dan alkitabiah. Ideologi inilah yang membuat mereka memiliki keberanian untuk mengadakan perubahan pada setiap gereja yang dipimpinnya.
Pengaruh ideologi bukan hanya ditemukan pada ranah politik, tetapi juga dalam organisasi gereja atau keagamaan secara keseluruhan. Menurut Althusser (Barker, 2006:60) bahwa ideologi ada dalam suatu aparatus dan praktik yang menyertainya terutama keluarga, sistem keluarga, gereja, dan media massa. Jadi, ideologi yang dianut itulah membuat pemimpin mampu mempengaruhi tata cara pelaksanaan baptisan di dalam gerejanya. Melalui sarana ideologi jauh lebih efektif dibandingkan dengan perlawanan secara fisik.
Cara kerja suatu ideologi sangat mempengaruhi seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Ideologi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas praktis kehidupan, namun ia adalah fenomena yang bisa dilihat dan dirasakan pada setiap aktivitas sehari-hari (Gramsci, 1971:349). Oleh sebab itu, setiap aliran dan denominasi gereja yang besar maupun kecil selalu berusaha untuk mempertahankan cara pelaksanaan baptisan di gerejanya masing-masing. Cara ini pun sudah melekat dalam hati dan pikirannya selama berabad-abad. Metode ini telah menjadi budaya dan tradisi gereja setempat.  
Dengan kuasa yang dimiliki maka pemimpin gereja mampu mempengaruhi dan bahkan memaksa setiap anggota jemaat untuk mengikuti cara pembaptisan yang dikehendakinya. Dalam hal ini penulis meminjam pendapat Max Weber (Budiardjo, 2008:60) sekalipun bukan seorang teolog tetapi sikap seperti ini menurutnya adalah kemampuan dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan. Sangat disayangkan adanya pemimpin gereja dewasa ini yang sudah tidak memperlihatkan kelembutan, kerendahan hati, rohaniah, dan keteladanan.
Pada kaitan yang sama Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan (Budiardjo, 2008:60) dalam rumusan klasiknya mengatakan: Power is relationship in which one person or group is able to determine the action of another in the direction of the former’s own ends. (kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama). Sebenarnya anggota jemaat merasa keberatan menerima doktrin atau baptisan tertentu. Apalagi yang bersangkutan sudah pernah dibaptis namun karena pengaruh kuasa pendeta terpaksa mengikutinya. Terlebih lagi ada anggapan yang sudah terpatri dalam pikiran jemaat bahwa melawan pendeta sama dengan melawan Allah.

Dengan adanya perbedaan berbagai doktrin, seperti doktrin keselamatan dan baptisan tentu menjadi sumber terjadinya perpecahan dalam agama Kristen. Ketika doktrin ini yang selalu ditonjolkan sehingga membuatnya berbeda, maka keharmonisan antara aliran dan denominasi gereja tidak akan pernah tercapai. Perdebatan yang panjang tentang doktrin gereja dapat membuat kualitas pelayanan pada setiap gereja mengalami kemerosotan. Marilah kita berbenah dan intropeksi diri dalam rangka mengevaluasi setiap doktrin di gereja kita masing-masing. Dengan begitu, kesatuan dan persatuan dapat diwujudkan sebelum Tuhan Yesus datang kembali. 

1 komentar:

  1. Shalom Gembala Sidang, Pendeta-pendeta dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan. Mari kita bersama-sama belajar membaca Shema Yisrael yang pernah dikutip oleh Yesus ( nama IbraniNya Yeshua/ ישוע ) di dalam Injil, yang dapat kita lihat di Markus 12 : 28 yang berasal dari Ulangan 6 : 4. Kalimat Shema Yisrael ini biasa diucapkan oleh orang Yahudi dalam setiap ibadah untuk mengungkapkan iman kepada satu Tuhan yang berdaulat dalam kehidupan mereka dan pada awalnya pun orang-orang yang percaya kepada Yesus dari bangsa-bangsa bukan Yahudi juga ikut serta dalam ibadah orang Yahudi di sinagoga.

    Tanpa bermaksud untuk menyangkali keberadaan Bapa, Anak dan Roh Kudus yang juga telah berulangkali diungkapkan dalam Perjanjian Baru, berikut ini Shema Yisrael dengan huruf Ibrani dan cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa yang ada

    Huruf Ibrani, " שְׁמַ֖ע יִשְׂרָאֵ֑ל יְהֹוָ֥ה אֱלֹהֵ֖ינוּ יְהֹוָ֥ה ׀ אֶחָֽד׃ "

    ( " Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad " )

    Dilanjutkan dengan mengucap berkat berikut :

    Huruf Ibrani, " בָּרוּךְ שֵׁם כְּבוֹד מַלְכוּתוֹ לְעוֹלָם וָעֶד "

    ( " Barukh Shem kevod, malkuto le'olam va'ed " )

    ( Diberkatilah Nama yang mulia, KerajaanNya untuk selama-lamanya )

    🕎✡️🐟🤚🏻👁️📜🕯️🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️⚓🕍✝️🗺️🌫️☀️🌒⚡🌈🌌🔥💧🌊🌬️❄️🌱🌾🍇🍎🍏🌹🍷🥛🍯🐏🐑🐐🐂🐎🦌🐪🐫🦁🦅🕊️🐍₪🇮🇱

    BalasHapus