A.
Sejarah Doktrin
Gereja
Bila kita melihat kembali sejarah perjalanan gereja ternyata telah membuktikan
dirinya terbagi-bagi dalam beberapa aliran gereja. Suatu kesulitan untuk menentukan mana yang lebih awal antara doktrin gereja dengan aliran gereja. Jika doktrin lebih awal daripada aliran gereja, maka klaim yang sama pun bisa berlaku
sebaliknya. Munculnya suatu doktrin maupun aliran tentu hanya pemimpin gereja itulah yang mengetahuinya secara pasti.
Kehadiran doktrin pada sebuah gereja bisa saja muncul setelah adanya
aliran gereja tersebut.
Mungkin juga doktrin gereja dirancang lebih dahulu oleh seseorang atau sekelompok orang yang kemudian
keluar dari gereja induknya dan membentuk aliran atau denominasi gereja yang baru. Salah satu contoh reformasi yang dilakukan
oleh Marthin
Luther dalam Gereja Katolik
Roma (GKR).
Doktrin yang
dipahami dijadikan sebagai landasan berpikir untuk mengadakan reformasi. Ketika
doktrin ini tidak diterima oleh GKR maka jalan yang ditempuh keluar dari gereja
itu lalu membentuk aliran gereja Lutheran.
Reformasi Luther terhadap GKR pada
awalnya tidak bertujuan mendirikan aliran Lutheran. Dia mengeluarkan 95 pokok ajaran dengan harapan agar pengajaran
dalam GKR kembali sesuai
Firman Allah. Pembaharuan yang dilakukannya tentu tidak mendapat respon positif
di dalam gereja pada waktu itu. Pada akhirnya dia dikeluarkan dari gereja yang
secara otomatis doktrin yang dirumuskannya terus diterapkan dalam gereja yang
dikenal aliran Lutheran atau agama Kristen saat ini.
Doktrin adalah ajaran tentang asas suatu aliran dalam agama
Kristen.
Pada
hakekatnya, doktrin
gereja menekankan pada
dasar-dasar pokok
ajaran Kristen yang dikembangkan oleh para pemimpin dalam setiap
aliran dan denominasi gereja tersebut. Setiap pokok ajaran yang mereka rumuskan
diyakini
akan kebenarannya.
Dengan adanya doktrin ini maka setiap gereja memiliki identitasnya tersendiri serta pedoman dalam melaksanakan pelayanan gerejawi.
Perkembangan doktrin dari setiap aliran dan denominasi gereja di
seluruh dunia telah membuat perubahan yang sangat signifikan dalam pelaksanaan berbagai kegiatan
pelayanan gerejawi. Setiap gereja merumuskan doktrin sesuai dengan cara
pandang dan teologianya masing-masing. Perbedaan-perbedaan doktrin ini telah banyak menghabiskan
energi dan perhatian banyak orang untuk mempertahankan keeksistensinya
masing-masing. Jika kita tidak sikap dengan hati yang berpaut kepada Allah,
maka doktrin
gereja akan terus bertambah dan berkembang pada masa yang akan datang.
Melalui perbedaan doktrin dipastikan
terbuka kesempatan terjadinya perdebatan yang hebat pada kalangan orang Kristen
itu sendiri.
Perdebatan semacam ini dapat diperkirakan tidak akan pernah selesai sampai Tuhan Yesus datang kembali. Perdebatan
ini pula semakin hari semakin tinggi intensitasnya, sehingga perpecahan dalam
gereja pun semakin nyata jelas. Ketika perpecahan gereja terjadi maka tugas utama orang Kristen untuk memberitakan Injil tidak dapat
terpenuhi dengan baik sebagaimana yang Tuhan Yesus harapkan.
Kendati adanya perkembangan dari perbedaan aliran dan denominasi gereja, tetapi
sebagian pemimpin gereja tetap mempertahankan doktrin yang dianut sebelumnya. Misalnya
Teologi Reformed (Reformed Theology)
yang tetap konsisten dan eksis pada setiap jamannya. Salah satu tokoh penting
dalam Teologi Reformed abad ke-20 adalah Prof. Dr. Louis Berkhof. Beberapa
doktrin pokok yang dijabarkannya untuk membantu pelayanan gereja, yaitu:
Doktrin Allah, Doktrin Manusia, Doktrin Kristus, Doktrin Keselamatan, Doktrin
Gereja, dan Doktrin Akhir Zaman. Dari keenam doktrin ini masih dibagi dalam
beberapa tema sentral lainnya. Dalam kajian ini tidak semua topik ini diuraikan, tetapi hanya doktrin keselamatan dan
doktrin baptisan yang akan dijelaskan. Kedua doktrin ini menjadi bahan
perdebatan yang masih hangat diperdebatkan hingga hari ini.
B.
Doktrin Keselamatan
Sejarah membuktikan bahwa perpecahan
gereja pada awalnya dimulai dari GKR yang berpusat di
Roma, Italia. Pemicu utamanya yaitu dalam konsili Chalcedon pada tahun 451 oleh
Gereja Katolik Barat di Roma memberlakukan resolusi, sehingga tidak dapat diterima oleh Gereja Katolik Timur (Gereja
Ortodoks Timur) di Konstantinopel. Perpecahan gereja ini pun puncaknya terjadi
pada tahun 1054. Dalam analisa Keene (2006:96) dalam bukunya yang berjudul Agama-agama Dunia menyatakan bahwa sedikitnya ada tiga pokok yang menjadi
alasan perpecahan gereja pada saat itu:
1)
Pernyataan Paus di Roma bahwa ia memiliki kekuasaan
tertinggi atas seluruh gereja.
2)
Keinginan Roma untuk menjadi pemimpin yang diakui Gereja di
seluruh dunia.
3)
Perubahan yang dilakukan Roma atas bunyi kredo, yang
dianggap tak dapat diganggu gugat oleh umat Kristen Timur.
Dari point di atas kita melihat alasan
utama terjadinya perpecahan
antara GKR dengan Gereja Katolik Ortodoks Timur. Kendati
perpecahan awal ini tidak begitu fatal, namun pada saat Marthin Luther seorang imam dari GKR sekaligus sebagai guru besar pada bidang
studi teologi di
Universitas Wittenberg Jerman mengadakan pembaharuan dalam gereja tersebut. Pembaharuan
yang dilakukannya justru menjadi awal terjadinya perpecahan besar dalam gereja
sampai saat ini. Pembaharuan ini digemakan pada tanggal 31 Oktober 1517 dengan mengeluarkan 95 keluhan (ajaran) sehubungan kebijakan Paus Leo X yang
telah menyimpang dari kebenaran Allah. Peristiwa pembaharuan inilah diperingati oleh gereja
Protestan sebagai
hari reformasi sampai sekarang.
Di antara seluruh keluhan Luther di
atas, salah
satu yang paling
disoroti yaitu
penjualan surat penghapusan siksa (aflat) atau sering
disebut surat indulgensia (penghapus dosa). Semakin banyak seseorang membeli
surat ini maka keselamatan akan diperolehnya dengan cuma-cuma. Doktrin
keselamatan inilah yang mengusik hati Luther, sebab di dalam Alkitab secara
jelas menegaskan bahwa keselamatan adalah anugerah Allah bagi setiap manusia
yang berdosa. Tidak
ada keselamatan yang diperoleh manusia melalui usahanya sendiri. Keselamatan bukan hasil kebaikan manusia, melainkan pemberian Allah bagi
setiap orang yang berkenan kepada-Nya melalui keyakian pada pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib.
Pengkhotbah indulgensia yang
terkenal pada saat itu adalah Yohanes Tetzel yang terus meneriakan, “pada saat
uang anda bergemerincing dalam peti, seketika itu juga jiwamu melompat dari api
penyucian ke sorga” (Lane, 2005:131). Bentuk uang yang berlaku pada jaman itu
berupa uang logam dan tidak seperti yang kita kenal saat ini. Praktek money politic dan korupsi sudah terjadi
dalam gereja, termasuk praktek jual-beli jabatan gerejawi. Faktor-faktor inilah
yang membuat kemarahan jemaat, sehingga memberi peluang besar kepada Luther
untuk mencetuskan reformasi ini.
Secara jujur tujuan utama penjualan
surat aflat adalah untuk mengumpulkan
dana bagi pembangunan gedung gereja raksasa yang kita kenal saat ini Gereja Santo Petrus di Roma. Hal ini
ditegaskan oleh Aritonang (2000:29) bahwa untuk merealisasikan tujuan tersebut maka
Paus menyelewengkan kekuasaan yang dimilikinya dengan membungkusnya dengan bahasa rohani yang berisi janji palsu sekaligus ancaman. Dalam logika
berpikir sederhana bahwa sebanyak apa pun surat aflat
yang didapatkan oleh seseorang pasti tidak
akan pernah
memperoleh keselamatan dari uang atau surat tersebut.
Perkembangan doktrin keselamatan ini
pun terus berlanjut
dalam gereja-gereja Protestan di dunia termasuk Indonesia. Memang konsep dan
metodenya berbeda dari GKR sebelumnya. Bukan lagi konsep penjualan surat aflat melainkan dengan metode lain seperti: “percaya Yesus pasti selamat”,
“menjadi orang Kristen pasti selamat”, “berbuat baik pasti selamat”, “memberi
persembahan yang banyak pasti selamat”, “dibaptis dengan cara tertentu pasti
selamat”, “masuk gereja tertentu pasti selamat”, “menerima mujizat pasti selamat”,
dan sebagainya. Doktrin keselamatan seperti ini akan menjadi sesat dan rapuh
jika hanya dipahami pada tataran konsep dangkal ini.
Doktrin keselamatan yang benar hanya
bermuara pada anugerah Allah di dalam Yesus Kristus. Anugerah keselamatan di dalam Yesus
Kristus memiliki makna yang sangat mendalam yaitu tanpa usaha manusia
sedikitpun. Orang yang telah menerima keselamatan dari Allah akan hidup dalam
iman yang benar yang
dikerjakan oleh kuasa Roh Kudus. Setiap
orang yang sudah menerima
keselamatan pasti akan selalu mengucap syukur melalui perbuatan-perbuatan iman pada setiap tingkah lakunya di hadapan
Allah dan manusia. Sementara orang yang hanya mengaku dirinya sudah selamat, tetapi terus
hidup di dalam dosa sesungguhnya dia menjadi pribadi yang murtad kepada Allah.
Dengan adanya berbagai macam kepentingan
pada setiap pemimpin gereja, maka dapat dipastikan perbedaan doktrin
keselamatan pada setiap aliran dan denominasi gereja akan semakin terasa. Dari perbedaan
inilah akan timbul berbagai macam persoalan dalam pelayanan gerejawi.
Akibatnya, perpecahan gereja karena perbedaan doktrin ini pun tidak terelakkan.
Pemahaman yang salah tentang doktrin keselamatan bukan hanya terjadi pada masa Luther
saja, tetapi doktrin ini pun telah merasuki gereja-gereja yang ada di Indonesia saat ini. Pemahaman
keselamatan yang berbeda menunjukkan gereja sudah pecah karena sumber
keselamatan hanya satu yaitu Yesus Kristus.
C.
Doktrin Baptisan
Doktrin baptisan merupakan objek
perdebatan yang belum berakhir sampai hari ini. Kemungkinan perdebatan seputar masalah
ini pun masih terus ada sampai Tuhan Yesus datang kembali. Beberapa aliran dan denominasi gereja terus mempertahankan dan mengklaim baptisan yang paling benar dan alkitabiah seperti
yang dilakukan di gerejanya. Sebagian lagi mengikuti cara Yohanes Pembaptis pada
saat membaptis Tuhan
Yesus di sungai
Yordan yaitu secara selam. Lebih kaget lagi adanya gereja yang menekankan pada pelaksanaan baptisan selam secara
berulang-ulang dan
baptisan yang dilakukan secara langsung oleh Roh Kudus.
Kita harus jujur mengakui bahwa
salah satu faktor perpecahan dalam agama Kristen yaitu masalah doktrin
baptisan. Fakta
yang ditemukan oleh Keene (2006:97) dalam penelitiaannya menyatakan bahwa gereja
yang ada di Inggris mulai terpecah-pecah dengan tidak menerima ajaran gereja
reformasi yaitu gereja yang berasal dari Inggris itu sendiri. Salah satu
penganut paham ini adalah Gereja Baptis yang mempercayai dan menegaskan bahwa
lebih baik membaptis orang setelah dewasa daripada membaptis seorang anak yang
masih kecil.
Kita tidak heran jika perbedaan, perdebatan, dan perpecahan
gereja yang terjadi di Indonesia selama ini disebabkan oleh pembenaran dan pemahaman doktrin baptisan yang
berbeda-beda tersebut. Berikut ini dipaparkan tentang metode atau cara baptisan
yang biasa dilakukan oleh beberapa gereja selama ini.
1. Baptisan Percik
Pemahaman Marthin Luther tentang
baptisan pada dasarnya setara dengan sunat dalam Perjanjian Lama yaitu sebagai
tanda perjanjian Allah dengan umat-Nya yang juga berlaku bagi anak-anak. Gereja
Anabaptis tidak menerima alasan ini sehingga
melaksanakan baptisan dewasa dan baptisan ulang. Melihat gejala ini membuat Luther menulis surat dengan menyebut mereka sebagai “orang-orang munafik dan
pendeta-pendeta gelap” (Aritonang, 2000:35).
Walupun pandangan Luther ini secara
tidak langsung menyakitkan perasaan Anabaptis, namun mereka tetap memiliki
pedoman yang kuat dan terus melaksanakan baptisan dewasa dan baptisan
ulang. Orang
yang sudah dewasalah yang memenuhi syarat serta mampu mempertanggung jawabkan
keyakinan imannya kepada Allah. Setiap orang yang sudah dibaptis waktu
masih anak-anak dalam Gereja Katolik Roma dan setelah reformasi Luther harus
dibaptis ulang, sebab baptisan anak-anak itu tidak sah (Aritonang, 2000:45).
Perbedaan cara pembaptisan di atas
menunjukkan bahwa aliran ini merumuskan doktrin baru. Padahal gereja pada
awalnya telah melaksanakan pembaptisan anak-anak dan orang
dewasa yang baru percaya kepada Yesus Kristus dengan cara percik. Fakta ini pun kembali ditegaskan oleh Keene (2006:108) dengan menyatakan:
Pelayanan pembaptisan bayi di Gereja
Katolik dan Anglikan memberikan ciri khas yang penting. Perayaan itu, yang
dipimpin oleh seorang imam, diselenggarakan di sekitar wadah air suci di mana
anak dihadirkan oleh orang tua dan wali baptis untuk dibaptis. Mereka berjanji
akan mengajar anak itu untuk melawan roh jahat, mengikuti ajaran Yesus, dan
mengantarkan anak itu dalam keluarga Allah, Gereja. Imam memerciki bayi itu
dengan air baptis sebanyak tiga kali dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus,
sebelum membuat tanda salib di dahinya.
Dasar
pelaksanaan baptisan adalah
perintah Tuhan Yesus yang dicatat oleh rasul Matius: “Karena itu pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak
dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai
kepada akhir zaman” (Matius 28: 19-20). Perintah ini harus dilakukan oleh
setiap orang Kristen di segala tempat dan jamannya.
Dalam prakteknya ternyata masih banyak
gereja yang memiliki perbedaan dalam menafsirkan tugas agung tersebut. Hal ini diungkapkan
oleh Rayburn (2005:5)
dalam bukunya yang berjudul Apa
Itu Baptisan? menegaskan bahwa tidak ada doktrin dalam Alkitab yang
sedemikian banyak perbedaannya, atau yang sedemikian disalah mengerti di dalam
gereja Kristen, selain doktrin baptisan air. Perbedaan
doktrin ini semakin jelas terlihat dalam penerapannya pada setiap gereja saat ini.
Setiap aliran dan denominasi gereja
berusaha dengan segala daya upaya untuk membenarkan caranya dalam melaksanakan baptisan. Apakah cara yang kita
lakukan selama ini sudah sesuai dengan Alkitab? Untuk diketahui bahwa munculnya
perbedaan ini karena faktor penerjemahan bahasa Yunani tentang baptisan yang
dilakukan oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan kepada diri Yesus. Oleh sebab
itu, peranan bahasa sangat penting untuk memecahkan persoalan baptisan ini.
Dalam karya Derrida, Foucault, dan
Lacan (Barker, 2006:91) merepresentasikan
pengaruh teori bahasa dengan
mengatakan bahasa bukan kehadiran metafisika
melainkan suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk mengoordinasikan
tindakan mereka dalam konteks hubungan sosial. Bahasa adalah tindakan dan petunjuk
bagi tindakan. Bahasa dalam konteks pemakaian secara sosial, secara temporer
dapat distabilkan untuk tujuan praktis. Jadi, fungsi bahasa dalam menafsirkan Alkitab
sangat penting untuk memperoleh makna tertentu.
Istilah baptisan dalam Perjanjian Lama memakai kata “baptein” yang berarti mencelupkan kakinya
ke dalam air (Yosua 3:15), mencelupkan jari ke dalam darah itu (Imamat 4:6,17), dimasukkan ke dalam
air (Imamat 11:32), dan Naaman membenamkan diri ke sungai Yordan (2 Raja-raja
5:14). Dalam tradisi ini,
adat dan budaya pembasuhan menunjukkan ritual penyucian atau pengudusan
seseorang. Sementara Perjanjian
Baru memakai kata ‘bapto’ yang artinya mencelupkan di dalam
atau mencelupkan bahan-bahan untuk memberi warna baru. Istilah lainnya ‘baptizo’ yang berarti membenamkan, mandi, atau mencuci. Kata baptisan dalam hal ini memberi
pengertian ganda.
Kebanyakan gereja yang hanya mengakui baptisan selam mengatakan bahwa
baptisan yang diterima oleh Tuhan Yesus di sungai Yordan adalah baptisan selam.
Pernyataan mereka ini didasarkan pada cara Yohanes
Pembaptis pada saat membaptis
Tuhan Yesus. Dalam Matius
3:16 berkata: “Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air”. Kata “keluar dari air” belum tentu menunjukkan baptisan selam, tetapi kata ini bisa
juga keluar dari “area”
air atau keluar dari lokasi sungai Yordan itu.
Secara harafiah Tuhan Yesus
keluar dari area air tersebut.
Apabila peristiwa pembaptisan Tuhan Yesus dikaji dalam tata bahasa Yunani
maka “euqus
anebh apo tou udaqos “ berarti “keluar dari
air”; kata εὐθὺς berarti segera,
lalu, sedangkan kata ἀνέβη=anabainw yang
berarti naik, pergi atau keluar. Ketika Yesus selesai dibaptis, Dia segera
keluar meninggalkan area sungai Yordan. Adanya perbedaan penafsiran terhadap kata ini sehingga menimbulkan
perbedaan juga pada pelaksanaan baptisan baik secara percik
ataupun baptisan secara selam.
Dalam tulisan Bagiyowinadi (2011:34) seorang pengajar
di gereja Katolik keuskupan Malang menyatakan bahwa Tuhan Yesus “keluar dari
air” tidak selalu berarti seluruh tubuh dibenamkan. Pembaptisan dengan
pembenaman seluruh tubuh bukanlah satu-satunya cara yang sah untuk pembaptisan.
Dia memberi contoh tentang pembaptisan yang dilakukan oleh Filipus terhadap
sida-sida dari Etiopia di jalan padang gurun yang tentunya tidak mudah
menemukan air untuk membaptis dengan cara selam.
Fakta sejarah lain diungkapkan oleh
Scheunemann (1986:35) pada kesimpulan
bukunya menegaskan:
Kita
memiliki sebuah pahatan batu, yang ditemukan dalam katakombe, yaitu tempat
persembunyian orang-orang Kristen di Roma terhadap penganiayaan negara. Relief
tersebut berasal dari permulaan abad II AD. Dari relief itu terdapat baptisan
Tuhan Yesus oleh Yohanes Pembaptis dengan cara Yohanes menuangkan air ke atas kepala Kristus ... Namun dengan majunya
gereja ke bagian utara, ke daerah dingin, gereja melazimkan baptisan percik,
agar tidak membahayakan kesehatan anak.
Dari kedua pendapat di atas menegaskan
bahwa Yohanes Pembaptis
menuangkan air di kepala Tuhan Yesus. Bisa juga dikatakan baptisan yang dilakukan pada saat itu adalah baptisan percik. Hal senada
diungkapkan oleh Stephen Tong
(Rayburn, 2005:1) yang menyatakan bahwa banyak gereja
yang menjalankan baptisan percik di sepanjang sejarah gereja. Dasar
pemahaman inilah yang sebagian besar aliran dan denominasi gereja tertentu
melaksanakan sakramen baptisan kudus secara percik sampai saat ini.
Elemen pembaptisan bukanlah mengarah pada
banyaknya air, tetapi yang
paling penting adalah baptisan harus didasarkan dalam nama Allah Bapa, Yesus Kristus,
dan Roh Kudus (Allah Tritunggal). Baptisan yang benar harus menggunakan media
air sebagai simbol pembersihan
yang menunjuk pada penyucian dan persekutuan di dalam Yesus Kristus.
Istilah baptisan telah dikenal pada masa
Perjanjian Lama. Rasul
Paulus menjelaskan dengan
berkata: “Aku mau, supaya kamu mengetahui, saudara-saudara, bahwa nenek moyang
kita semua berada di bawah perlindungan awan dan bahwa mereka semua telah
melintasi laut. Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua telah dibaptis dalam
awan dan dalam laut” (1 Korintus 10:1-2). Kalimat yang menyatakan “mereka semua
telah dibaptis dalam awan dan dalam laut”, tidak berarti setiap orang yang
mengikuti nabi Musa harus ditenggelamkan dalam awan dan air laut. Istilah ini menunjukkan Israel sebagai umat pilihan yang dipelihara, dilindungi, dan
hidup dalam persekutuan dengan Allah.
Dalam hal ini Baan (2009:179) mendefenisikan
makna materai dan tanda baptisan ini dengan
mengutip Pengakuan Iman Gereja Belanda
yang menyatakan:
Kristus
telah menetapkan baptisan lahiriah ini serta berjanji bahwa saya
sungguh-sungguh dicuci dengan darah dan Roh-Nya dari kecemaran jiwa, yaitu
segala dosa saya. Hal itu sama pasti bila badan saya dicuci dengan air yang
menghilangkan kecemaran badan. Sama seperti air membasuh kotoran tubuh waktu
kita disiram air itu, yaitu air yang kelihatan pada tubuh orang yang dibaptis
dan yang memercik dia, begitu juga darah Kristus melakukan hal yang sama secara
batin, di dalam jiwa, oleh Roh Kudus, dengan memerciki jiwa dan membersihkannya
dari dosa dan dengan melahirkan kita kembali, sehingga dari anak-anak murka
menjadi anak-anak Allah (Pasal 34).
Banyak atau sedikitnya air pada saat baptisan tidak mempengaruhi
maknanya. Baptisan bukan cara untuk memperoleh
keselamatan, tetapi menjadi meterai persekutuan di dalam Kristus. Jika
anak-anak dari orang percaya meninggal pun sebelum menerima baptisan air, maka pasti mereka tetap
merupakan bagian dari anugerah dan perjanjian Allah. Oleh sebab itu, Godfrey (2009:433) menegaskan bahwa baptisan
hanya diperkenankan satu kali bagi setiap pribadi orang Kristen.
Dalam hal ini Calvin (Godfrey, 2009:430) menjelaskan bahwa ada tiga janji yang
terkandung dalam baptisan, yaitu:
1. Baptisan adalah penyucian
atau pengampunan dosa. Baptisan
meyakinkan orang Kristen bahwa janji pengampunan yang diberikan dalam Injil
adalah benar dan dapat dipercaya.
2. Baptisan adalah mematikan
daging dan pembaharuan. Allah yang berjanji untuk membenarkan umat-Nya juga
berjanji dalam baptisan untuk menguduskan mereka secara progresif baik dalam
mematikan kehidupan daging maupun dalam memperhatikan kehidupan oleh Roh.
3. Baptisan adalah bahwa
kita “disatukan dengan Kristus sendiri sehingga kita menjadi pengambil bagian
dalam semua berkat-Nya”. Baptisan adalah “ikatan persatuan dan persekutuan yang
paling utuh di mana Ia telah berkenan untuk membentuk kita.
Cara
pelaksanaan baptisan percik tentu tidak selamanya direspon secara baik oleh
aliran dan denominasi gereja yang hanya mengakui baptisan selam, baptisan selam
yang diulang, dan baptisan
Roh Kudus. Mereka tetap berkeyakinan bahwa baptisan yang dilakukan oleh Yohanes
Pembaptis pada orang banyak dan kepada Tuhan Yesus pada waktu itu adalah
baptisan selam secara dewasa. Dengan
demikian, apapun bentuk dan cara baptisan yang dilakukan tidak menjadikan dasar
atau jaminan bagi seseorang untuk selamat dari murka Allah kelak.
2. Baptisan
Selam
Beberapa aliran dan denominasi gereja yang
menganut baptisan selam juga memiliki alasan yang kuat. Salah satu alasannya diuraikan oleh Tabor (2007:154-167) dalam bukunya
yang berjudul Dinasti Yesus
menyatakan sebelum membaptis Tuhan Yesus, Yohanes Pembaptis telah membaptis
orang Yahudi pada saat itu yang hidupnya saleh sehingga ditandai oleh
penenggelaman atau baptisan di dalam air yaitu baptisan selam yang juga
diterima oleh keluarga-Nya. Jadi,
Yusuf dan Maria telah menerima baptisan selam.
Argumentasi
lainnya dengan mengacu pada etimologi kata baptisan yang berarti menenggelamkan. Namun Rayburn
(2005:22) membantah argumentasi
itu dengan berkata bahwa tidak ada ahli yang menolak bahwa arti utama dari kata
baptiso adalah “menenggelamkan”. Marilah kita hanya
melihat kepada Alkitab, karena seperti yang telah kita katakan sebelumnya,
keputusan kita yang terakhir harus berasal dari Alkitab. Pernyataan
Rayburn tersebut menegaskan bahwa patokan hidup orang Kristen serta segala
kegiatan gerejawi termasuk pelaksanaan baptisan harus bersumber pada Alkitab.
Segala hal yang bertentangan dengan Alkitab bukanlah sebuah pelayanan gerejawi.
Perbedaan cara antara baptisan percik dan selam telah
menimbulkan banyak polemik dalam kehidupan orang Kristen. Gereja yang menolak
baptisan percik sering mengacu pada arti kata “menyelamkan” serta baptisan Tuhan Yesus di sungai Yordan dianggap
secara selam.
Semua aliran dan denominasi gereja yang tidak melaksanakan baptisan
selam dianggap tidak mengikuti cara Tuhan Yesus dibaptis, sehingga baptisan itu
tidak sah karena tidak sesuai dengan Alkitab.
Gereja
yang melaksanakan baptisan selam merupakan bagian dari gereja yang melaksanakan
baptisan percik. Akibat perbedaan ideologi serta pemahaman teologis yang berbeda-beda pada akhirnya
menjadi sumber perpecahan. Mereka merumuskan doktrin-doktrin baru dalam
gereja sesuai dengan sudut pandang pemimpinnya masing-masing. Kehadiran aliran dan denominasi gereja
baru pertanda telah terjadi perpecahan dalam agama Kristen, sebagai akibat tidak
menerima gereja yang sudah ada sebelumnya.
Biasanya baptisan
selam dilakukan di kolam, sungai, danau, dan air laut. Ada gereja yang sengaja
membuat kolam baptisan dengan ukuran besar dan
kecil di lingkungan gedung gerejanya. Ada yang membuat kolam baptisan di
bawah mimbar gereja, sehingga terkesan pelayanan baptisan yang dilakukan saat
itu ritual yang alkitabiah. Baptisan selam dapat dilaksanakan pada
setiap hari yang disaksikan oleh seluruh jemaat. Pada prinsipnya penulis tidak menyalahkan ataupun
membenarkan salah satu cara pembaptisan baik percik atau selam, tetapi hanya
memberikan beberapa argumentasi logis serta fakta-fakta sejarah sehubungan
pelaksanaan baptisan tersebut.
Selain itu, ada pula aliran dan denominasi gereja yang
memahami baptisan yang sah apabila dilakukan
secara berulang-ulang dengan cara selam. Alasan
mereka melaksanakan baptisan ulang
ini, antara lain:
a)
Seorang Kristen yang
berasal dari aliran atau denominasi
lain dan telah menerima
baptisan percik. Ketika dia
pindah atau sengaja dipaksa pindah menjadi anggota dari gereja ini maka harus menerima baptisan selam.
b)
Seorang Kristen yang
berasal dari aliran atau
denominasi lain dan telah
menerima baptisan selam. Ketika dia pindah
atau sengaja dipaksa pindah untuk menjadi anggota gereja ini, maka harus dibaptis lagi secara selam.
c)
Seorang
Kristen yang telah menerima baptisan selam tetapi ketika pergi berjiarah ke
Yerusalem meminta untuk dibaptis kembali secara selam di Sungai Yordan.
d)
Seorang Kristen yang telah
melakukan dosa dalam aliran
atau denominasi gereja tersebut, maka diwajibkan
untuk menjalani baptisan ulang secara
selam. Baptisan ini bertujuan untuk membersihkan dosa-dosanya sehingga dianggap
telah memperoleh hidup baru.
Dalam logika berpikir sederhana menegaskan baptisan
yang sah jika dilakukan secara selam pada saat seseorang sudah dewasa. Sebagian
orang Kristen berkeinginan dibaptis secara selam di sungai Yordan tempat Tuhan
Yesus dibaptis. Baptisan yang dilakukan di kolam, sungai, danau, dan laut di
Indonesia kurang memuaskan. Apapun argumentasi seputar pelaksanaan baptisan ini
menjadi tanggung jawabnya di hadapan Allah.
3.
Baptisan Roh Kudus
Ada beberapa aliran dan denominasi gereja
yang menekankan pada
pelaksanaan baptisan Roh Kudus sebagai simbol
kelahiran baru. Gereja yang menganut paham ini beranggapan bahwa baptisan Roh
Kudus adalah baptisan yang dilakukan oleh Allah melalui kuasa Roh Kudus dan
Firman-Nya pada setiap pribadi orang Kristen. Orang yang sudah dibaptis secara selam harus mengalami
baptisan Roh Kudus secara
pribadi. Bukti seseorang telah menerima baptisan Roh Kudus
dapat dilihat melalui etika kehidupannya. Baptisan Roh Kudus adalah baptisan
yang datang dari Allah tanpa diketahui oleh manusia kecuali orang yang mengalaminya secara langsung.
Pemahaman baptisan Roh Kudus sepertinya terus menjadi
polemik sepanjang sejarah perjalanan gereja. Perbedaan ini mulai dari
penafsiran baptisan Roh Kudus itu sendiri sampai pada proses penerimaan
seseorang akan baptisan tersebut. Memang sulit dibuktikan kapan seseorang
menerima baptisan Roh Kudus. Apapun bentuk baptisan yang diterima seseorang
tidak menjamin karakter dan pola hidupnya berkenan kepada Allah. Yang menjadi
tugas utama kita adalah bagaimana seseorang dapat memberi makna baptisannya itu
dalam lingkup pelayanan serta melaksanakan pemberitaan Injil kepada semua
orang.
D. Ideologi
Baptisan
Penyebab utama
perpecahan dalam agama Kristen di seluruh dunia dan Indonesia karena pemimpinnya selalu
menonjolkan perbedaan doktrin yang
dianut oleh gerejanya masing-masing. Hal ini ditegaskan oleh Halim (2000:81) dalam bukunya yang
berjudul Gereja di Tengah-tengah
Perubahan Dunia yang menyatakan:
“Perpecahan adalah
hasil dari konflik antar jemaat yang masing-masing berpegang pada ajaran yang
ada, atau pun ajaran yang baru yang ditentang oleh jemaat. Teologi baru adalah
suatu alat yang paling ampuh untuk menciptakan separatisme dalam jemaat.”
Ketika
sebuah doktrin tetap dipertahankan, sebenarnya ada ideologi yang sudah lama
tertanam di dalam diri pemimpin
ataupun organisasi gereja tersebut. Ideologi yang
dianut dianggap sebagai suatu kebenaran yang mutlak, sehingga secara otomatis
menganggap bahwa gerejanyalah
yang paling benar dan alkitabiah. Ideologi inilah yang
membuat mereka memiliki keberanian untuk mengadakan perubahan pada setiap
gereja yang dipimpinnya.
Pengaruh ideologi bukan hanya
ditemukan pada ranah politik, tetapi juga dalam organisasi gereja atau keagamaan secara keseluruhan. Menurut Althusser (Barker, 2006:60) bahwa
ideologi ada dalam suatu aparatus dan praktik yang menyertainya terutama
keluarga, sistem keluarga, gereja, dan media massa. Jadi, ideologi yang dianut itulah membuat pemimpin mampu mempengaruhi tata cara
pelaksanaan baptisan di dalam
gerejanya. Melalui sarana ideologi jauh lebih efektif dibandingkan dengan perlawanan secara fisik.
Cara kerja suatu ideologi sangat mempengaruhi seluruh
sendi-sendi kehidupan manusia. Ideologi tidak dapat
dipisahkan dari aktivitas praktis kehidupan, namun ia adalah fenomena yang bisa
dilihat dan dirasakan pada setiap aktivitas sehari-hari (Gramsci, 1971:349). Oleh sebab itu,
setiap aliran dan denominasi gereja yang besar maupun kecil selalu berusaha untuk
mempertahankan cara pelaksanaan baptisan di gerejanya masing-masing. Cara ini pun sudah melekat
dalam hati dan pikirannya selama berabad-abad. Metode ini telah menjadi budaya dan tradisi
gereja setempat.
Dengan kuasa yang dimiliki maka pemimpin
gereja mampu mempengaruhi dan
bahkan memaksa setiap anggota jemaat untuk mengikuti cara pembaptisan yang dikehendakinya.
Dalam hal ini penulis meminjam pendapat Max Weber (Budiardjo,
2008:60) sekalipun bukan seorang teolog tetapi
sikap seperti ini menurutnya adalah
kemampuan dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun
mengalami perlawanan. Sangat disayangkan adanya pemimpin
gereja dewasa ini yang sudah
tidak memperlihatkan kelembutan, kerendahan hati, rohaniah, dan keteladanan.
Pada kaitan yang sama Harold
D. Laswell dan Abraham Kaplan (Budiardjo,
2008:60) dalam rumusan klasiknya mengatakan: Power is relationship in which one person or
group is able to determine the action of another in the direction of the
former’s own ends. (kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau
sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah
tujuan dari pihak pertama). Sebenarnya
anggota jemaat merasa keberatan menerima doktrin atau baptisan tertentu. Apalagi
yang bersangkutan sudah pernah dibaptis namun karena pengaruh kuasa pendeta
terpaksa mengikutinya. Terlebih lagi ada anggapan yang sudah terpatri dalam
pikiran jemaat bahwa melawan pendeta sama dengan melawan Allah.
Dengan adanya perbedaan berbagai doktrin, seperti doktrin keselamatan dan baptisan tentu menjadi
sumber terjadinya perpecahan dalam agama
Kristen. Ketika doktrin ini yang selalu ditonjolkan sehingga membuatnya berbeda, maka
keharmonisan antara aliran dan denominasi gereja tidak akan pernah tercapai. Perdebatan
yang panjang tentang doktrin gereja dapat membuat kualitas
pelayanan pada setiap
gereja mengalami kemerosotan. Marilah
kita berbenah dan intropeksi diri dalam rangka mengevaluasi setiap doktrin di
gereja kita masing-masing. Dengan begitu, kesatuan dan persatuan dapat
diwujudkan sebelum Tuhan Yesus datang kembali.
Shalom Gembala Sidang, Pendeta-pendeta dan Jemaat yang dikasihi oleh Tuhan. Mari kita bersama-sama belajar membaca Shema Yisrael yang pernah dikutip oleh Yesus ( nama IbraniNya Yeshua/ ישוע ) di dalam Injil, yang dapat kita lihat di Markus 12 : 28 yang berasal dari Ulangan 6 : 4. Kalimat Shema Yisrael ini biasa diucapkan oleh orang Yahudi dalam setiap ibadah untuk mengungkapkan iman kepada satu Tuhan yang berdaulat dalam kehidupan mereka dan pada awalnya pun orang-orang yang percaya kepada Yesus dari bangsa-bangsa bukan Yahudi juga ikut serta dalam ibadah orang Yahudi di sinagoga.
BalasHapusTanpa bermaksud untuk menyangkali keberadaan Bapa, Anak dan Roh Kudus yang juga telah berulangkali diungkapkan dalam Perjanjian Baru, berikut ini Shema Yisrael dengan huruf Ibrani dan cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa yang ada
Huruf Ibrani, " שְׁמַ֖ע יִשְׂרָאֵ֑ל יְהֹוָ֥ה אֱלֹהֵ֖ינוּ יְהֹוָ֥ה ׀ אֶחָֽד׃ "
( " Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad " )
Dilanjutkan dengan mengucap berkat berikut :
Huruf Ibrani, " בָּרוּךְ שֵׁם כְּבוֹד מַלְכוּתוֹ לְעוֹלָם וָעֶד "
( " Barukh Shem kevod, malkuto le'olam va'ed " )
( Diberkatilah Nama yang mulia, KerajaanNya untuk selama-lamanya )
🕎✡️🐟🤚🏻👁️📜🕯️🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️⚓🕍✝️🗺️🌫️☀️🌒⚡🌈🌌🔥💧🌊🌬️❄️🌱🌾🍇🍎🍏🌹🍷🥛🍯🐏🐑🐐🐂🐎🦌🐪🐫🦁🦅🕊️🐍₪🇮🇱